MYCULTURED. Pendahuluan
Kemiskinan adalah masalah yang selalu dihadapi gereja di sepanjang sejarah. Masalah kemiskinan bukanlah sesuatu yang hanya dihadapi oleh gereja-gereja Indonesia sekarang ini, terlebih karena krisis ekonomi yang berkepanjangan, melainkan juga sudah dialami oleh gereja mula-mula di Perjanjian Baru. Dengan keprihatinan terhadap penderitaan kemiskinan sesama umat Tuhan, tulisan ini mencoba untuk menggali bagaimana Rasul Paulus pada waktu itu di tengah pelayanannya juga sibuk berkampanye mengumpulkan dana untuk menolong orang-orang miskin. Berkaitan dengan ini akan dibahas arti solidaritas persaudaraan sebagai sesama anggota tubuh Kristus.
Di samping itu, akan menjadi bahasan juga bagaimana sikap yang benar dalam memberi secara kristiani dan kaitannya dengan prinsip keseimbangan. Memberi pertolongan adalah penting, tetapi bagaimana sikap memberi juga tidak kalah pentingnya. Untuk itu, tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian yang berturut-turut membahas latar belakang, tujuan, dan sifat proyek pengumpulan dana Paulus.
1. Latar Belakang Paulus Mengumpulkan Dana
1.1. Sidang Para Rasul
Pengumpulan dana untuk jemaat di Yerusalem merupakan aktivitas pelayanan yang penting bagi Rasul Paulus dan jemaat-jemaatnya yang non-Yahudi. Ini terbukti dengan banyaknya data yang kita temui dalam surat-surat Paulus berkaitan dengan proyek pengumpulan dana itu (Rm. 15:25-27; 1Kor. 16:1-4; 2Kor. 8-9; Gal. 2:10). Kemudian Lukas juga menyinggung beberapa peristiwa yang berhubungan dengan proyek dana ini (Kis. 20:16,22; 24:17).
Sehubungan dengan itu muncul pertanyaan: Apakah yang mendorong Paulus untuk melaksanakan proyek pengumpulkan dana bagi orang miskin di Gereja Yerusalem? Cara yang tepat untuk menemukan jawabannya adalah membaca perkataan Paulus sendiri dalam suratnya kepada Jemaat Galatia, khususnya Galatia 2:10. Di ayat ini kita menemukan bahwa ketika Paulus bersidang dengan para rasul yang lain di Yerusalem dia setuju untuk mengingat orang-orang miskin, suatu aspek pelayanan yang memang sunguh-sungguh dilakukannya. Dalam sidang itu juga Paulus ditetapkan menjadi rasul bagi orang-orang yang tidak bersunat (orang-orang bukan Yahudi), sedangkan Petrus bagi orang-orang yang bersunat (orang-orang Yahudi, Gal. 2:7,9). Selanjutnya Paulus mulai melaksanakan kampanye pengumpulan dana ini dengan serius. Suatu pelayanan yang meminta waktu cukup lama dan melibatkan wilayah yang luas: Galatia, Makedonia, dan Akhaia (1Kor. 16:1; 2Kor. 9:1-5).
Proyek pengumpulan dana ini bukanlah suatu bukti inferioritas Paulus dari kepemimpinan rasuli di Yerusalem sebagaimana beberapa orang mungkin melihatnya demikian. Asumsi yang demikian mungkin saja ada di pandangan lawan-lawan Paulus di Galatia sehingga akibatnya mereka menyerang Paulus. Ini berarti bahwa proyek pengumpulan dana ini mungkin saja telah menjadi suatu sumber kesulitan tersendiri bagi Paulus (Hutardo, 1979: 47,46-62).
Akan tetapi, bahwa Paulus menerima tangungjawab untuk menolong orang miskin dengan rela – sebab pelayanan demikian adalah sesuatu yang sunguh-sungguh – memang dilakukannya (Gal. 2:10). Hal ini bermakna bahwa Paulus tidak melihat tanggung jawab pengumpulan dana ini sebagai sesuatu yang dibebankan kepadanya (Gal. 2:6; Dunn, 1993: 113). Kata keterangan ”hanya” (monon) pada kalimat ”hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin” (Gal. 2:10) dalam hal ini mempunyai dua fungsi. Kata tersebut dapat mengacu pada suatu persoalan baru dan juga mengungkapkan suatu konsesi atau kelonggaran (Betz, 1979: 102; Longenecker, 1990: 59). Sedangkan kata ”remember” (mnēmoneuômen) ada dalam bentuk present subjunctive yang memberi gambaran akan kelanjutan suatu aktivitas. Teks bacaan mengacu pada suatu topik yang spesifik yaitu tentang bantuan dana yang sedang berlangsung (Hall, 1971: 310; Betz 1979: 101). Kemudian lagi, kata kerja espoudasa di dalam Perjanjian Baru tidak hanya mengandung arti ”melakukan dengan sungguh-sungguh” tetapi juga ”menjalankan usaha dengan rajin”. Suatu kata yang bisa tidak hanya mengacu kepada pemikiran yang ada dalam diri Paulus tetapi juga mengacu pada suatu kegiatan yang dilakukannya sebelumnya (Burton, 1948: 100).
Kata kerja espoudasa ("aku sungguh-sungguh") merupakan poin yang penting untuk memahami latar belakang proyek pengumpulan dana Paulus. Beberapa ahli melihat Galatia 2:10 tidak mengacu pada kegiatan dana yang berhubungan dengan kegiatan dana pada surat Paulus yang lain (1Kor. 16:1-4; 2Kor. 8-9; Rm. 15:25-31). Sebagai contoh, Georgi sebagaimana dikutip oleh Verbrugge (1992: 312) memahami kata kerja espoudasa sebagai bentuk aorist biasa yang mengacu pada peristiwa yang lewat. Sementara Bruce (1969: 10) melihat ayat tersebut mengacu pada pemberian dana yang dibawa ke Yerusalem oleh Paulus dan Barnabas seperti tertera di Kisah Para Rasul 11:27-30. Akan tetapi, sebagian besar ahli meskipun dengan argumen berbeda melihat Galatia 2:10 dengan jelas berkaitan dengan proyek pengumpulan dana Paulus. Sebagai contoh Nickle (1966: 59) mengatakan bahwa teks Galatia 2:10 mempunyai kiasan ganda: mengacu pada bantuan kelaparan yang baru saja dibawa ke Yerusalem pada waktu sidang para rasul dan pada proyek pengumpulan dana yang akan dilaksanakan. Verbrugge (1992: 312) cenderung melihat kata kerja espoudasa sebagai insentif aorist. Hal ini berarti bahwa ketika Paulus dan Barnabas diminta untuk mengingat orang-orang miskin, Paulus lalu menjadi sangat berminat. Minat ini juga memberi tanda bahwa dia melihat tugas itu bukan suatu beban yang ditimpakan padanya. Ludemann (1984: 77-80) memahami bahwa teks tersebut mengacu pada pengumpulan dana yang akan dilakukan tetapi sedang dalam pelaksanaan ketika Paulus menulis surat Galatia. Kesimpulan dapat ditarik bahwa Paulus tidak melihat proyek pengumpulan dana itu sebagai sesuatu yang dibebankan kepadanya dan bukan pula dia melihat dirinya inferior dibandingkan dengan para rasul lain di Yerusalem. Holmberg (1978: 38,56) di dalam bukunya yang membahas otoritas dalam Gereja Purba juga menyimpulkan bahwa Paulus tidaklah melihat dirinya lebih rendah dari para rasul di Yerusalem. Justru Paulus menyadari dan bangga akan kebebasannya sebagai rasul Kristus kepada orang-orang non-Yahudi. Melalui proyek pengumpulan dana ini dia mau menunjukkan kesatuan jemaat antara Yahudi dan bukan Yahudi.
Di pihak lain, bagaimana gereja di Yerusalem memandang pengumpulan dana ini adalah persoalan lain. Gereja di Yerusalem mungkin saja memandang pengumpulan dana ini sebagai penghormatan (tribute) kepada mereka sebab mereka memahami dirinya sebagai gereja induk (Bruce, 1968: 10; Holmberg, 1978: 39-41). Tetapi, pemahaman seperti itu lemah oleh beberapa alasan berikut. Pertama, di dalam masyarakat Yunani-Romawi pemberian biasanya diberikan oleh mereka yang berstatus superior kepada yang inferior atau dari mereka yang kaya kepada yang miskin. Dalam hal ini gereja di Yerusalem tidak akan melihat dirinya kaya sebab pada kenyataannya mereka miskin (Gal. 2:10; Rm. 15:26; Furnish, 1984: 412-413). Kedua, di Roma 15:31 Paulus memohon pembaca suratnya untuk berdoa agar para rasul di Yerusalem menerima dana yang digalang tersebut. Kecemasan Paulus akan kemungkinan dana tidak diterima mengindikasikan bahwa Gereja Yerusalem mungkin tidak berharap akan adanya pemberian dana yang dibawa Paulus (Keck, 1965: 124,126, n.82). Ketiga, Verbrugge (1992: 314) memaparkan bahwa kata-kata Paulus kepada jemaat Korintus yang berkaitan dengan pengumpulan proyek dana tersebut ada dalam bentuk surat perintah (1Kor. 16:1-2) dan surat permintaan yang bersifat retorik (2Kor. 8-9). Bukti ini memberi petunjuk bahwa pengumpulan dana bukanlah suatu upeti atau penghormatan sebab dalam surat-surat Paulus tersebut tidak didapati bahasa yang bermuatan kode dan peraturan sebagaimana didapati dalam surat-surat yang berhubungan dengan pengumpulan dana di masyarakat Yunani-Romawi.
1.2. Orang-Orang Miskin
Gereja Yerusalem disebut sebagai ”orang miskin” (Gal. 2:10; Rm. 15:26). Pertanyaan yang penting adalah apakah istilah itu berarti miskin secara finansial atau miskin dalam arti kesalehan (Ibrani: anawim). Di tempat lain gereja Yerusalem disebut ”orang-orang kudus”; bahkan Roma 15:26 menyebut gereja itu lebih lengkap: ”kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di Yerusalem”. Betz (1979: 102) mengatakan bahwa sangat mungkin istilah ”miskin” mengacu kepada kemiskinan dalam hal finansial dan kesalehan.
Istilah “miskin” tidak sekedar sebutan diri gereja mula-mula demikian kesimpulan Karl Holl dalam artikelnya tahun 1928, sebagaimana dikutip oleh Keck (1965: 101) dan Martin (1986: 257). Menurut Karl Holl istilah ”miskin” dan ”kudus” tidak mengacu pada orang yang melarat di antara orang Kristen tetapi mengacu pada Gereja Yerusalem secara keseluruhan. Mereka yang kemiskinannya sejajar dengan orang miskin di hadapan Allah (Mat. 5:3). Dengan pengertian bahwa mereka adalah gereja induk dalam kekristenan maka itu memberikan mereka hak untuk mengharapkan bantuan finansial dari gereja-gereja non-Yahudi. Kesimpulan Holl ini ditentang oleh Keck (1965: 101-129) karena tidak didukung oleh data dalam surat Paulus sendiri. Sebagian besar ahli yang membahas proyek pengumpulan dana Paulus ini memahami istilah ”orang-orang miskin” (hoi ptôchoi; Gal. 2:10; Rm. 15:26) sebagai orang yang sungguh miskin dalam arti melarat.
Alasan mengapa orang-orang kudus di Yerusalem menjadi miskin tidak kita temui dalam surat Paulus. Untuk mencari jawabnya kita hanya bisa membuat praduga berikut ini. Sementara gereja Yerusalem semakin besar dalam jumlah maka sejajar dengan itu jumlah para janda juga bertambah (bnd. Kis. 6:1-7). Martin (1986: 257) mengatakan bahwa orang-orang Yahudi yang lanjut usia dari berbagai wilayah pulang ke Yerusalem dan tinggal di sana sampai akhir hayat mereka. Mereka ingin dikuburkan di sana dengan harapan akan adanya kebangkitan. Demikian juga menurut laporan bahwa orang-orang percaya dari Galilea berziarah ke Yerusalem untuk menunggu kedatangan Mesias. Kemungkinan yang lain adalah musim panen yang buruk di Yudea pada sekitar tahun empat puluhan dalam abad pertama Masehi (Kis. 11: 27-30). Selanjutnya penganiayaan yang dihadapi Gereja Yerusalem dari penguasa Yahudi mungkin juga turut menjadi faktor penyebab penderitaan ekonomi dan sosial mereka.
Yang terakhir, pengalaman dalam hidup ”kasih ala komunisme” (Holmberg 1978: 35) selama hampir dua puluh tahun juga mengakibatkan kemiskinan. Orang-orang percaya yang hidup setelah pengalaman Pentakosta yang dramatis mengorganisir hidup bersama mereka dalam pengharapan akan akhir zaman. Mereka saling berbagi milik masing-masing (Kis. 2:42-47; 3:6; 4:32-5:11). Di dalam komunitas yang demikian dapat dimengerti bahwa mereka yang sebelumnya memiliki harta akan segera menjadi miskin.
Sekarang menjadi jelas bahwa kita tidak bisa memastikan mana penyebab utama yang membuat Gereja Yerusalem miskin. Kesimpulan yang dapat ditarik untuk sementara mungkin kombinasi dari berbagai keadaanlah yang membuat gereja itu miskin.
2. Tujuan Pengumpulan Dana
atu hal yang perlu dicatat bahwa proyek pengumpulan dana ini tampaknya bagi Paulus mempunyai tujuan lebih dari satu. Para ahli telah berdebat untuk menentukan tujuan yang sesungguhnya dan beberapa karya tulis yang penting telah dihasilkan untuk itu. Sebagai contoh, Nickle (1966) membahas proyek dana itu dari sudut tujuan Paulus untuk menampakkan kesatuan gereja. Georgi (1992, terjemahan bahasa Inggris, dan sayang tidak ada di tangan penulis) secara khusus membahas perjalanan proyek ini dari awal hingga berahkir. Sementara itu Verbrugge (1992) berusaha menggali makna proyek dana tersebut. Menurut teori Verbrugge, tujuan proyek dana itu sebaiknya dilihat dari surat Roma (15:25-33). Alasannya, dalam surat Roma tersebut, Paulus dengan leluasa bisa memaparkan perihal proyek dana ini terlepas dari konflik kepentingan finansial karena Paulus tidak mengharapkan pembacanya di Roma untuk terlibat secara finansial. Sedangkan kata-kata Paulus yang terdapat di surat yang lain dianggap hanya sebagai pelengkap (1Kor. 16:1-4; 2Kor. 8-9). Karena, perkataan Paulus dalam surat-surat Korintus ini ada dalam bentuk surat perintah dan permohonan yang memperlihatkan bagaimana Paulus menghendaki para jemaatnya ikut ambil bagian tetapi tidak mengandung tujuan dari proyek dana itu sendiri (Verbrugge, 1992: 25-58; 244-270).
Akan tetapi melihat tujuan proyek pengumpulan dana yang didasarkan atas surat Roma (15:25-33) tidak mempunyai perbedaan yang mencolok bila dilihat dari surat 2 Korintus 8-9. Hal ini terlihat bahwa dari tiga tujuan yang dipaparkan oleh Nickle (1966:100-142), yaitu derma, kesatuan, dan eskatologi juga ditemui di tujuan yang diusulkan oleh Verbrugge (1992: 307-330) yaitu derma, kewajiban jemaat Paulus, kesatuan, dan pelayanan Paulus.
Menurut penulis, cara yang paling komprehensif untuk mencari makna dari proyek tersebut adalah dengan menggunakan seluruh data yang ada tanpa harus mengutamakan yang satu dan menomorduakan yang lain. Meskipun surat 2 Korintus 8-9 berbentuk surat permohonan retorik, seperti dipaparkan Verbrugge, tetapi surat tersebut memberikan suatu arti yang khusus yang tidak ditemui di surat yang lain. Misalnya, Paulus mengatakan bahwa pemberian ke jemaat di Yerusalem adalah suatu kerelaan (2Kor. 8:11-12; 9:5-7) dan keseimbangan (2Kor. 8:13-15). Kedua hal tersebut sangat penting dalam memahami proyek dana itu secara menyeluruh. Dengan demikian, kita tidak hanya mengetahui tujuannya tetapi juga sifat khusus yang melekat pada proyek tersebut. Dari berbagai tujuan yang diusulkan oleh para ahli, berikut ini kita hanya berfokus pada dua tujuan yaitu pertolongan untuk orang miskin dan usaha menampakkan kesatuan gereja. Kedua tujuan tersebut dapat umumnya diterima tanpa masalah sebab teks sendiri memperlihatkannya dengan jelas. Di pihak lain para ahli seperti (Nickle, 1966: 129-142) dan Petersen (1985: 144-147) mengikutsertakan eskatologi sebagai tujuan proyek dana Paulus ini. Usulan ini didasarkan atas Roma 9-11 di mana Paulus menyinggung perihal orang-orang Yahudi yang tidak percaya. Dengan menyampaikan dana ke Yerusalem maka Paulus berharap orang-orang Yahudi yang tidak percaya itu akan melihat bahwa orang Yunani telah menerima Mesias. Peristiwa tersebut diharapkan dapat memprovokasi keirian orang Yahudi yang tidak percaya itu untuk terdorong percaya kepada Mesias. Namun usulan eskatologi ini disanggah oleh Verbrugge dengan argumentasi yang valid (1992: 323-327).
2.1. Pertolongan Untuk Orang Miskin
dalah sesuatu yang cukup jelas bahwa Paulus bertujuan menolong orang-orang miskin di Yerusalem (Gal. 2:10; Rm. 15:26). Pertolongan ini dimaksudkan untuk menampakkan kasih Allah yang telah diterima jemaat Paulus di dalam Kristus (2Kor. 8:8-9,19; 9:12-15). Mereka yang telah merasakan kasih Allah terpanggil untuk mengasihi Allah melalui ucapan syukur dan ketaatan (Rm. 8:28; 1Kor. 8:3; Gal. 5:6) Ini berarti pengumpulan dana tidak hanya sebatas ungkapan kasih kepada saudara seiman tetapi juga sebagai ungkapan syukur kepada Allah (2Kor. 9:12). Pelaksanaan pengumpulan dana ini bagi Paulus benar-benar suatu kepedulian untuk mereka yang membutuhkannya. Faktor utama dari kepedulian ini adalah kasih (Rm. 12:9; 1Kor. 13; Nickle 1966: 103). Paulus meminta jemaatnya agar tidak memberikan bantuannya dengan terpaksa tetapi dengan sukacita (2Kor. 9:7). Kasih, menurut Paulus tidak hanya sekedar sikap baik kepada orang lain tetapi juga mencakup itikad untuk bertindak (Banks, 1979: 68).
Nickle (1966: 74-99) mencoba melihat apakah pengumpulan dana ini suatu pajak seperti yang dipraktekkan oleh orang Yahudi pada waktu itu. Memang cara Paulus mengumpulkan dana ini dan dengan tujuannya untuk menampakkan kesatuan sejajar dengan metode dan tujuan pajak Bait Allah orang Yahudi. Akan tetapi keduanya tidak sama sebagaimana dipaparkan Nickle (bnd. Barret, 1973: 26). Perhatian pada orang miskin adalah suatu ungkapan persekutuan di dalam Kristus, suatu sikap yang esensial dalam kehidupan tiap pribadi dalam jemaat dan juga antar jemaat. Pemahaman demikian dapat kita lihat melalui istilah-istilah yang Paulus gunakan (Nickle, 1966: 104-110). Sebagai contoh, ungkapan en aplotēti (”di dalam kemurahan”) digunakan untuk menunjuk pada motivasi kepedulian kepada saudara seiman (2Kor. 8:2; 9:11,13). Paulus juga menggunakan kata koinônia (”persekutuan”; Rm. 15:26-27; 2Kor. 8:4; 9:13). Kata tersebut disukai Paulus dalam menggambarkan kehidupan persekutuan orang percaya. Di samping itu, untuk penggunaannya dalam perjamuan kasih dan Perjamuan Kudus, di mana kepedulian pada orang miskin menjadi hal yang utama, kata tersebut mempunyai tempat khusus (1Kor. 10:16; Kis. 2:42). Pelayanan pada orang miskin adalah bagian dari persekutuan orang Kristen.
Selanjutnya, digunakan juga kata diakonia. Kata ini pada dasarnya berarti ”menunggu di meja”. Kemudian di Perjanjian Baru kata tersebut berkembang maknanya menjadi ”menyediakan kebutuhan hidup” dan ”pelayanan” (Luk. 12: 37; Mat. 25: 42). Yesus mengatakan bahwa siapa yang melayani saudara kecil dan hina adalah melayani diri-Nya (Mat. 25:44-45). Gereja mula-mula tidak terlalu membedakan antara pelayanan ibadah dan pelayanan hidup sehari-hari. Hal ini terlihat dari perayaan Perjamuan Kudus di mana kebutuhan orang miskin mendapat perhatian yang utama (Kis. 2:42; 6:1; 1Kor. 11:22). Jadi, dapat dipahami bila Paulus menggunakan berbagai bentuk dari kata diakonia di dalam tulisaan mengenai proyek pengumpulan dana ini. Hal ini berarti, dia sedang berbicara tentang tindakan esensial persekutuan orang Kristen yang diwarnai pelayanan pada Tuhan (Rm. 15:25; 2Kor. 8:4,19; 9:1,12,13). Penekanan akan pentingnya kepedulian terhadap saudara Kristen juga ditunjukkan oleh penggunaan kata charis (”grace”). Ada beberapa makna yang terkandung ketika kata tersebut diaplikasikan Paulus dalam proyek pengumpulan dananya. Makna itu, menurut Nickle (1966: 109-110), adalah sebagai berikut. Kata ”grace” memberi arti:
- Pemberian ilahi yang membuat partisipasi murni kristiani menjadi mungkin (2 Kor. 8:1; 9:8,14);
- Tindakan partisipasi dalam pengumpulan dana (2 Kor. 8:6);
- Hasil dari partisipasi itu sendiri (1Kor. 16:3);
- Sebagai ungkapan langsung persaudaraan dalam persekutuan kristiani (2Kor. 8:4,7);
- Sebagai bagian integral dari pelayanan Paulus (2Kor. 8:19) yang didorong dan dibenarkan oleh anugerah Kristus (2Kor. 8-9).
Perlu dicatat bahwa perhatian kepada kaum miskin adalah ciri khas hukum dan tradisi Yahudi (Ul. 24:10-22; Mzm. 10:2; 12:5; 16:6; Yes. 3:14-15; 10:1-2; 58:6-7). Di dalam Perjanjian Lama Allah dipahami sebagai Go’el (”pelindung”) dari kaum papa seperti anak yatim-piatu, para janda, dan orang miskin (Ams. 23:11; Yer. 50:34; Mzm. 149:9). Dalam Yudaisme pemberian derma dipahami sebagai ungkapan yang penting akan perjanjian kebenaran (Dan. 4:27; Sir. 3:30; 29:12; 40:24; Tob. 4:10; 12:9; 14:11). Derma dimengerti sebagai aspek terpenting dalam memenuhi hukum Taurat. Seorang yang melakukan pemberian derma berarti melakukan pekerjaan Allah. Para pemberi derma dijanjikan akan mendapat hidup yang baik sedangkan yang sebaliknya akan mendapat hukuman (Schrenk, 1964: 196; Nickle, 1966: 94-95).
Akan tetapi, motivasi dalam pelaksanaan derma di Yudaisme berbeda dari proyek dana Paulus. Kepedulian untuk orang miskin dalam proyek Paulus tidak didasarkan pada etika Yahudi tetapi didasarkan pada pengajaran dan pelayanan Yesus sendiri (Mat. 5:3; 5:47; 11:5; 25:34; Luk. 4:18; 19:2; Mrk. 12:41; 10:21; Yoh. 13:29). Dalam hidupnya Yesus tidak hanya peduli kepada kaum miskin tetapi dia juga secara sukarela hidup dalam kemiskinan (Mat. 8:20; Nickle, 1966: 101). Mengingat bahwa Paulus mengklaim dirinya sebagai peniru Kristus di segenap cara Kristus hidup (1Kor. 4:10-13; 4:17), dimana dia juga mempersembahkan segenap hidupnya melayani Tuhan (1Kor. 2:2; Flp. 1:21-24), maka cukup logis beranggapan bahwa kehidupan Paulus sebagai pemberita Firman yang merana juga didasarkan pada kehidupan Kristus yang miskin secara sukarela (1Kor. 4:11-13).
2.2. Kesatuan Gereja
Pengumpulan dana Paulus dimaksudkan untuk menampakkan kesatuan antara orang Kristen Yahudi dan Yunani. Galatia 2:1-14 menginformasikan bahwa ada dua kubu gereja pada waktu itu. Surat 2 Korintus 2:8-9 dan Roma 15: 25-32 memaparkan bahwa Paulus memahami proyek bantuan ini sebagai sarana untuk mempromosikan kesatuan dari dua kubu gereja yang ada. Konsep pengakuan Paulus terhadap satu Tuhan, satu tubuh, dan satu keluarga dengan jelas berada di belakang gagasan kesatuan gereja ini (Ef. 4:1-6).
Komunikasi Paulus dalam surat Roma bisa memperlihatkan gagasan tentang kesatuan tersebut. Disamping bukan pendiri jemaat Roma, dia juga tidak pernah berkunjung ke kota tersebut. Tetapi, meskipun demikian, Paulus membicarakan juga perihal proyek dana ini pada jemaat Roma dan memohon dukungan doa mereka (Rm. 15:25-32). Ini berarti bahwa Paulus mau agar jemaat Roma yang sebagian besar non-Yahudi ikut terlibat di dalam proyek dana tersebut. Hurd (1965: 263) dengan tepat mengatakan bahwa Paulus sengaja menekankan kesatuan antara orang Kristen Yahudi dan Yunani ketika dia membicarakan proyek bantuan tersebut pada pendengar yang tidak terlibat secara finansial.
Dengan gamblang Paulus mengatakan, ”Sebab jika bangsa-bangsa yang lain telah beroleh bagian dalam harta rohani orang Yahudi, maka wajiblah juga bangsa-bangsa lain itu melayani orang Yahudi dengan harta duniawi mereka” (Rm. 15:27). Dengan kata lain, karena bangsa lain telah menerima keselamatan melalui orang Yahudi Kristen yang di Yerusalem maka bangsa lain ini berhutang kepada mereka. Ini tidak berarti bahwa Paulus memahami proyek dana sebagai pajak yang dibebankan atas bangsa lain, tetapi memang demikianlah cara bangsa lain membayar pada Jemaat Yerusalem atas apa yang telah mereka terima. Bila Paulus menggunakan kata ”hutang”maka itu mengacu kepada tanggungjawab sukarela, suatu ungkapan saling melayani di dalam persekutuan Kristen (bnd. Rm. 13:8; Nickle, 1966: 120).
Sementara itu, Verbrugge (1992: 315-318) memahami teks Roma 15:27 sebagai ungkapan kewajiban jemaat-jemaat Paulus dan bukan mengungkapkan konsep kesatuan. Namun, menurut penulis, kata koinônia (”persekutuan”) di ayat sebelumnya dengan nyata menekankan konsep kesatuan gereja. Arti dasar dari kata koinônos adalah ”teman” (fellow) atau ”perserta” (participant). Kata tersebut berimplikasi persekutuan atau berbagi dengan seseorang atau berbagi akan sesuatu. Sedangkan kata kerjanya (koinôneô) berarti ”berbagi dengan seseorang atas apa yang dia miliki”. Paulus biasanya menggunakan kelompok kata tersebut untuk persekutuan religius di dalam Kristus dan untuk persekutuan yang saling mengasihi di antara sesama orang percaya. Persekutuan dengan Kristus membawa orang bersekutu dengan sesama pengikut Kristus (Flm. 7; 2Kor. 8:23; Flp. 1:7; Rm. 12:13). Makna kata koinôneô ”berbagai sesuatu” lebih terasa di surat-surat Paulus dibandingkan di tulisan-tulisan PB lainnya dan tulisan sekuler Yunani (Flp. 4:15; Gal. 6:6; 1Kor. 9:11; Hauck, 1965: 792-809). Bila Paulus menggunakan kata tersebut di dalam proyek dananya, itu berarti dia menekankan bentuk nyata kesatuan antara Yahudi dan Yunani dalam Kristus yang disimbolkan oleh saling memberi antara dua kelompok bangsa ini.
Selanjutnya, aspek kesatuan dalam proyek dana dapat dilihat dari konteks keterbagian gereja sebagaimana tertera pada Galatia 2:1-14. Barret (1973: 27) dan Nickle (1966:115-119) melihat kenyataan adanya dua kubu gereja sebagai petunjuk utama untuk mengerti tujuan dari proyek dana tersebut. Kedua ahli ini melihat kesatuan gereja sebagai tujuan utama dari proyek dana Paulus. Hal yang sama juga ditekankan oleh Dahl (1977:32) dengan mengatakan bahwa penggenapan janji Paulus untuk mengingat orang-orang miskin (Gal. 2:10) membuktikan akan realitas kasih yang mengikat seluruh orang Kristen bersama.
Proyek dana bagi Paulus mempunyai arti yang oikumenis. Dia membandingkan partisipasi jemaatnya di dalam proyek tersebut dengan pengorbanan Kristus bagi umat manusia (2Kor. 8-9; Furnish, 1984: 411). Yang utama bukanlah uangnya dan bukan pula jumlahnya, tetapi penampakkan kesatuan Gereja. Cukup menarik melihat konsep Paulus sendiri tentang gereja. Kata ekklēsia berkaitan dengan konsep pertemuan umat Allah dalam Perjanjian Lama (Schmidt, 1965: 502-505). Siapa yang dipanggil oleh Allah maka masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus. Orang Kristen adalah umat Israel (Gal. 6:16). Kesatuan mereka adalah solidaritas yang organik: satu tubuh di dalam Kristus (Rm. 12:1; 1Kor. 10:17; 12:12; Gal. 3:28) atau tubuh Kristus sendiri (1Kor. 12:27). Konsep tentang anggota satu tubuh terlihat berada di belakang proyek dana Paulus yang menampakkan kesatuan ini. (Nickle, 1966: 116-117; McKinght, 1993: 145).
Dalam kaitan ini cukup penting menyimak pendapat Schweizer (1961: 4,5,10). Menurutnya, murid-murid Paulus menafsirkan ulang konsep tubuh Kristus dalam pemikiran yang bercorak hellenisme di mana Kristus dipahami sebagai kepala alam raya (surat Kolose). Akan tetapi, ketika Paulus membicarakan gereja sebagai tubuh Kristus dia menekankan kesatuan antara Kristus dan gereja-Nya dan kesatuan antara sesama anggota gereja. Konsep ini menunjuk pada tanggungjawab umat terhadap Allah dan sesama manusia. Misi Paulus pada bangsa lain mempunyai arti eskatologis yaitu berupaya menjalani akan kepastian kesatuan gereja di masa depan. Konsep Paulus mengenai tubuh didasarkan atas pemikiran Yahudi di mana tubuh dipahami sebagai satu kesatuan unit. Tidak ada kontradiksi antara jiwa dan daging sebagaimana ditemui dalam pemikiran Yunani. Manusia juga dipahami sebagai suatu keseluruhan di mana kerjasama anggota-anggota tubuh menjadi ciri yang khas.
3. Sifat Proyek Pengumpulan Dana
Dalam membahas ”sifat” proyek pengumpulan dana kita berupaya menentukan sikap yang dikehendaki Paulus dari jemaatnya dalam berpartisipasi di dalam proyek tersebut, yakni sukarela dan keseimbangan.
3.1. Sukarela
Proyek pengumpulan dana adalah perihal sukarela (2Kor. 8:11-12; 9:5-7). Paulus meminta jemaat Korintus untuk memberi dari apa yang mereka miliki, bukan dari apa yang tidak mereka miliki. Pemberian itu bukan masalah jumlahnya tetapi sukarelanya. Penerimaan pemberian mereka tidak terletak pada besarnya tetapi pada kesukarelaan. Pemberian kristiani bukan masalah paksaan sebab Allah hanya mengasihi mereka yang memberi dengan sukacita (2Kor. 9:7). Sikap bermurah hati kepada orang-orang yang membutuhkan merupakan ajaran yang populer dalam tradisi hikmat (Ams. 3:27-28; Tob. 4:8). Adalah sesuatu yang mungkin bila pemikiran tersebut ada dalam diri Paulus ketika dia berbicara tentang bantuan dana ini kepada Jemaat Korintus. Perlu dicatat bahwa Markus 12:43-44 tidak persis sama dengan isi perkataan Paulus dalam 2 Korintus 8:11-12. Dalam Injil Markus seorang janda miskin memberikan semua dari apa yang dia miliki sedangkan orang yang kaya memberikan dari kelimpahannya. Di sini penekanannya bukan pada kesukarelaan.
Dengan mengingat konsep sukarela inilah Paulus mengutus beberapa temannya untuk mendahuluinya ke Korintus. Dengan demikian, orang Korintus disiapkan untuk menyediakan pemberian mereka sehingga pemberian itu siap sebagai ”berkat” dan jauh dari kesan sebagai kerakusan Paulus (pleonexia ”greed”; 2Kor. 9:5). Dalam literatur Hellenistik istilah ”rakus” berkaitan dengan keinginan untuk memiliki lebih banyak. Suatu dosa sosial yang menyebabkan ketidakharmonisan di masyarakat (Delling, 1968: 266-269, 273). Paulus tidak mau pemberian jemaat Korintus dilihat sebagai sikap kerakusannya. Maka pemberian tersebut harus menjadi persembahan sukarela bukan sesuatu yang dipaksakan.
Betz (1968: 68) berpendapat bahwa di belakang konsep sukarela ini terdapat budaya tukar-menukar. Menurut pemikiran populer saat itu, kemakmuran dilihat sebagai hasil kemurahan ilahi sedangkan kekayaan dipahami sebagai sesuatu yang didapat melalui ketidakadilan, kekerasan, kerakusan, dan sifat mementingkan diri sendiri. Ini berarti Paulus mengingatkan Jemaat Korintus perihal sikap terhadap harta. Pemberian yang bersifat berkat adalah jawaban terhadap berkat yang diterima, sedangkan kerakusan menandakan kegagalan menjawab berkat yang diterima (bnd. 1Kor. 4:7).
Paulus juga menyatakan bahwa orang Korintus tidak perlu takut kehilangan harta bila mereka berpartisipasi dalam proyek dana itu. Allah akan memberkati mereka yang bermurah hati dan mereka akan berkelimpahan dalam segala sesuatu (2Kor. 9:6,8,11). Dengan demikian, pemberian pada proyek dana akan membawa berkat pada orang percaya di Yerusalem dan juga pada jemaat Korintus sendiri. Selanjutnya lagi, dana itu tidak hanya untuk menolong kebutuhan orang miskin di Yerusalem tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah (2Kor. 9:12). Orang percaya di Yerusalem akan memuji Allah atas apa yang mereka terima melalui proyek dana ini sebab mereka sadar bahwa Allah adalah sumber berkat yang memampukan bangsa non-Yahudi memberi melalui proyek dana tersebut (Furnish, 1984: 445-452; Pfitzner, 1992: 134). Betz (1985: 18) menggarisbawahi bahwa semua ucapan syukur di dalam perkataan Paulus adalah suatu respon, pemberian kurban pada Allah atas semua kebaikan yang diterima dari Allah sendiri.
Dalam kaitan ini perlu mengamati kata leitourgia (”pelayanan”; 1Kor. 9:12; Rm. 15:27) yang digunakan Paulus. Kata tersebut berarti suatu perbuatan untuk pelayanan umum, baik itu yang dilakukan oleh dermawan, pegawai negara, atau imam. Sejajar dengan itu di antara para ahli terjadi beberapa pendapat. Betz (1985: 117) misalnya, memahami kata tersebut dalam arti sekuler. Paulus menggunakan kata tersebut dalam kaitannya dengan perbuatan warga yang kaya dengan sukarela memberi bantuan untuk keperluan masyarakat umum di dunia Yunani. Para ahli yang lain (Furnish, 1984: 443; Pfitzner 1992: 134) melihat kata tersebut mengandung makna religius. Sementara itu, Strathmann (1967: 227) berpendapat bahwa kata tersebut tidak mengacu pada aktivitas kultus maupun duniawi. Pendapatnya didasarkan atas Filipi 2:30 di mana Paulus sendiri menggunakan kata tersebut di dalam bantuan uang yang jemaat Filipi usahakan untuk sang rasul. Jika salah satu makna diaplikasikan maka Paulus tidak akan berbicara tentang suatu leitourgia pada dirinya sendiri. Strathmann lebih suka melihat kata tersebut hanya mengacu pada suatu pelayanan yang ditetapkan.
Namun konteks menunjukkan bahwa kata tersebut memiliki makna religius atau kultus. Dalam 1 Korintus 9:12, kata leitourgia dipakai untuk menerangkan ucapan syukur pada Allah. Ini berarti bahwa proyek dana tidak sekedar bantuan untuk orang miskin di Yerusalem, tetapi lebih dari itu, ia akan membuat orang percaya di Yerusalem memuji Allah (2Kor. 9:11-12). Di ayat sebelumnya Paulus menyebutkan bahwa proyek dana akan menjadi berkat (2Kor. 9:5). Pujian dan ucapan syukur adalah respon terhadap berkat Allah, dan ini berarti proyek dana tersebut berhubungan dengan aktivitas kultus. Sang rasul menggunakan kata kerja leitourgeô (Rm. 15:27) dalam makna kultus, bahkan di Roma 15:16 Paulus menggunakan kata tersebut untuk membicarakan pelayanannya sebagai pelayan Yesus Kristus. Ayat tersebut menggambarkan nuansa ke-imam-an dan pekerjaan kultus di mana Paulus membicarakan pelayanan keimamannya dalam hubungannya dengan Injil. Sekarang jelas bahwa ketika Paulus menggunakan istilah leitourgia dalam proyek dana (2Kor. 9:12; Rm. 15:27), kata tersebut memiliki makna religius. Dengan demikian, proyek pengumpulan dana memiliki nuansa pelayanan yang suci. Di sini Paulus melihat pelayanan ilahi sebagai bagian integral dari kepedulian terhadap orang miskin. Di dalam Septuginta kata leitourgeô dan kata-kata jadiannya digunakan untuk menggambarkan pelayanan iman dan kaum Lewi di Bait Suci. Kata tersebut menggambarkan baik fungsi imam dan pelaksanaan ritual (Kel. 28-39; Yeh. 40-46; Hess, 1971: 551-552; bnd. Strathmann, 1967: 230).
3.2. Keseimbangan
Proyek pengumpulan dana Paulus adalah juga masalah keseimbangan. Ketika Paulus mengajak jemaatnya untuk memberikan kontribusi mereka, dia tidak bermaksud memberikan beban finansial bagi si pemberi(2Kor. 8:13). Proyek dana tersebut bukan untuk menjadi beban tetapi justru untuk menjaga keseimbangan. Keseimbangan antara kelebihan jemaat Yunani dan kekurangan jemaat di Yerusalem. Kata yang digunakan untuk menyebut konsep keseimbangan adalah isotēs, biasanya diterjemahkan dengan ”equality” (”persamaan”). Kata tersebut cukup populer penggunaannya di bidang retorika, politik, dan moral di dunia Yunani. Aristoteles misalnya mengatakan bahwa isotēs adalah fondasi dari suatu kota atau masyarakat, yang menjadi basis untuk kerukunan dan damai (Politica 2.1, 1261 30-31). Sedangkan lawannya adalah pleonexia (”kerakusan”).
Orang Yunani sangat menghormati konsep keseimbangan (isotēs) sebagai sarana untuk menopang kesatuan dan solidaritas negara (Aristoteles, Politica II,2, 1261a, 30). Kemudian kata tersebut juga memberikan prinsip persahabatan di masyarakat. Sebagai contoh para pengikut Pitagoras mengatakan bahwa persahabatan adalah enarmonios isotēs (”keseimbangan yang harmonis”) dari dua orang (Diogenes Laertius 8,33). Sedangkan Aristoteles (Ethica Nicomachea 10, 1159b, 2) mendefinisikan sahabat yang benar sebagai isos kai homoios (”sama dan setara”; Stählin, 1965: 343-347). Dapat dimengerti bahwa konsep keseimbangan ini ada di pikiran Paulus ketika dia menyurati jemaat Korintus. Dengan tepat Betz (1985: 68) mengatakan bahwa Paulus dengan sengaja menggunakan suatu istilah yang akrab di telinga pembaca suratnya.
Konsep keseimbangan dirumuskan Paulus sebagai berikut: “…tetapi supaya ada keseimbangan maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2Kor. 8:13b-14). Beberapa ahli memahami teks tersebut sebagai konsep pertukaran antara berkat materi dengan berkat rohani seperti disarankan oleh Roma 15:27. Nickle (1966: 120) memahami kalimat ”agar kelebihan mereka mencukupkan kekurangan kamu” sebagai jaminan bahwa jemaat di Yerusalem akan terus memberikan berkat rohani mereka dalam hal nasehat, teladan, dan doa khusus. Pendapat yang sama disodorkan oleh Betz (1985: 68-69) tetapi dengan alasan yang berbeda. Betz mengatakan bahwa meskipun jemaat Yerusalem miskin dalam finansial tetapi kaya dalam hal rohani. Sedangkan di pihak lain jemaat Korintus kaya secara finansial tetapi memiliki kelemahan-kelemahan dalam rohani di mana salah satu contohnya adalah ketidakmampuan mereka menyelesaikan pengumpulan dana ini dengan segera. Jadi, setelah jemaat Korintus memberikan dana bantuan mereka maka jemaat Yerusalem akan menolong mengatasi kelemahan mereka. Dengan demikian akan tercipta saling memberi di antara kedua pihak, suatu sikap saling berbalasan, reciprocity, yang menjadi prinsip keseimbangan dalam kebiasaan Yunani-Romawi.
Akan tetapi, pendapat Betz menjadi lemah oleh beberapa alasan berikut ini. Pertama, sulit untuk memahami kemiskinan rohani jemaat Korintus karena Paulus sendiri mengakui bahwa mereka juga kaya secara rohani (1Kor. 1:7; 2Kor. 8:7). Kedua, tidak ada indikasi yang kuat untuk memahami jemaat Yerusalem kaya dalam hal rohani. Justru mereka disebut sebagai orang miskin (Gal. 2:10; Rm. 15:26). Istilah ”orang-orang miskin” sebagaimana dibahas di depan kemungkinan juga mengacu pada kemiskinan materi dan rohani. Ketiga, konsep Betz atas ”keseimbangan” sangat bertumpu pada konsep resiprokal. Padahal, masalah keseimbangan dalam proyek dana Paulus ini sebaiknya tidak dilihat berdasarkan asas pertukaran tetapi asas pertolongan dari mereka yang berkecukupan kepada mereka yang berkekurangan. Konsep keseimbangan tidak didasarkan atas kasih resiprokal (philia) tetapi atas kasih murni pengorbanan (agapē; 2Kor. 8:11-12,24; 9:5-7).
Paulus membandingkan ungkapan kasih dalam proyek dana dengan pengorbanan Kristus (2Kor. 8:9). Partisipasi di dalam penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus menghasilkan persekutuan yang mengasihi dan peduli (Flp. 3:10-11; 2Kor. 1:5-7). Konsep yang sejajar dengan keseimbangan ini adalah konsep go’el (”penebus”, ”pelindung”) dalam Perjanjian Lama. Penebus dalam menjalankan tugasnya untuk menghadirkan keseimbangan di masyarakat atau keluarga tidak dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat balasan tetapi karena dia memiliki rasa tanggungjawab dan solidaritas keluarga yang kuat (Im. 25; Bil. 35:31-34). Orang Israel melihat keluarganya sebagai tempat pertolongan dan perlindungan saat ada ancaman terhadap harta dan kelanjutan nama mereka. Jadi, ada perasaan solidaritas yang kuat di belakang konsep go’el ini. Istilah tersebut juga digunakan pada Allah di mana Allah dilihat sebagai pelindung atau penebus Israel (Yes. 44:24; 47:4; 51:10; 63:16; Kel. 6:6; 15:13; lihat juga Ringgren, 1977: 351).
Sekarang menjadi jelas bahwa konsep keseimbangan (2Kor. 8:13b-14) tidak mengacu pada pertukaran antara berkat materi dengan berkat rohani. Pemikiran dalam teks tersebut berbeda dengan pemikiran di Roma 15:27. Apa yang Paulus inginkan dari konsep keseimbangan ini adalah bahwa Jemaat Korintus dengan kecukupannya dapat menolong kekurangan Jemaat Yerusalem. Ada waktunya nanti bila Jemaat Yerusalem akan berkecukupan dan mereka lalu dapat mengingat kebaikan Jemaat Korintus (Barret, 1973: 226; Martin, 1986: 226; Pfitzner, 1992: 123).
Prinsip keseimbangan merupakan ciri khas dalam memberi pertolongan baik di jemaat-jemaat Paulus maupun orang Kristen. Orang Kristen tidak mengikuti konsep komunisme dan tidak pula menerapkan prinsip siapa yang kuat yang bertahan hidup. Menjadi bagian dari keluarga Allah untuk mereka yang berkecukupan sebaiknya berbagi dengan yang berkekurangan sehingga keseimbagan terpelihara. Dalam bahasa yang sederhana: ”Orang yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan” (2Kor. 8:15; bnd. Nababan, 1982: 109).
4. Kesimpulan
- Paulus dan jemaatnya mengadakan kegiatan pengumpulan dana untuk menolong orang-orang miskin di Yerusalem. Pengumpulan dana ini bukanlah indikasi akan kerendahan status sang rasul terhadap para rasul di Yerusalem, dan bukan pula rasul Paulus melihat kegiatan ini sebagai beban yang ditimpahkan kepadanya. Akan tetapi, dengan sadar Paulus memahami proyek pengumpulan dana ini sebagai suatu aspek pelayanan yang ada di dalam dirinya sebagai pelayan Kristus, yaitu kepedulian kepada orang miskin. Secara khusus dengan proyek pengumpulan dana ini Paulus juga mau menampakkan kesatuan gereja, antara komunitas Kristen Yahudi dan non-Yahudi.
- Di dalam menganjurkan jemaatnya untuk memberi dalam proyek dana tersebut Paulus mau agar jemaatnya tidak melihatnya hanya sekedar pemberian kepada mereka yang membutuhkan melainkan melihat pemberian itu juga sebagai pelayanan (”service”, 2Kor. 9:12; Rm. 15:27). Suatu tindakan kasih yang didasarkan atas kasih Kristus (2Kor. 8:11-12,24; 9:5-7). Sejajar dengan itu maka memberi harus dengan sukacita dan ucapan syukur bukan dengan paksaan. Dengan memberi melalui proyek dana tersebut maka jemaat diajak untuk memelihara keseimbangan di tengah persekutuan orang percaya, antara mereka yang berkecukupan dengan mereka yang berkekurangan.
Kepustakaan
Banks, R.1979. Paul’s Idea of Community. The Early House Church in Their Historical Setting. Surry Hills: Anzea Publishers.
Barret, C.K. 1973. A Commentary on the Second Epistle to the Corinthians. London: A&C Black.
Betz, H.D. 1979. Galatians. Philadelphia: Fortress Press. 2 Corinthians 8-9. Philadelphia: Fortress Press.
Bruce, F.F. 1969. ”Paul and Jerusalem”. Tyndale Bulletin 19: 3-25.
Burton, E.W. 1948.Galatians. Edinburgh: T&T Clark.
Dahl, N.A. 1977. Studies in Paul. Minnesota: Augsburg Publishing House.
Delling, G. 1968. ”pleonexia”. Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Friederich. Volume 4. Michigan: Eerdmans, 266-274.
Furnish, V.P. 1984. II Corinthians. New York: Doubleday.
Hall, D. 1971. ”St Paul and Famine Relief”. The Expository Times 82: 399-411.
Hauck, F. 1965. ”koinos”. Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume III. Michigan: Eerdmans, 789-809.
Hess, K. 1971. ”leitourgeô”. Dalam The New International Dictionary of New Testament Theology. Ed. C. Brown. Volume 3. Exeter: The Paternoster Press, 551-553.
Holmberg, B. 1978. Paul and Power: The Structure of Authority in the Primitive Church as Reflected in the Pauline Epistles. Philadelphia: Fortress Press.
Hurd, J.D. 1965. The Origin of First Corinthians. New York: Seabury.
Hurtado, L.W. 1979. ”The Jerusalem Collection and the Book of Galatians”. Journal for the Study of the New Testament 5: 46-62.
Keck, L.E. 1965. ”The Poor Among the Saints in the New Testament”. Zeitschrift für die Alttestamenliche Wissenchaft 57: 100-129.
Longenecker, R.N. 1990. Galatians. Waco, Texas: Word Books Publisher.
Ludemann, G. 1984. Paul: Apostle to the Gentiles. Studies in Chronology. Philadelphia: Fortress Press.
Martin, R.P. 1986. 2 Corinthians. Waco, Texas: Word Books Publisher.
Mcknight, S. 1993. ”Collection for the Saints”. Dalam Dictionary of Paul and His Letters. Ed. G.F. Hawthorne. Illinois: Inter Varsity Press, 143-147.
Nababan, S.A.E. 1982. ”Cooperation in Mission and Evangelism”. Dalam Lutheran World Federation Interregional Consultation on Mission and Evangelism. LWF Report 13/14: 104-112.
Petersen, N.R.1985. Rediscovering Paul. Philadelphia: Fortress Press.
Pfitzner, V.C. 1992. Strength in Weakness. A Commentary on 2 Corinthians. Adelaide: Lutheran Publishing House.
Ringgren, H. 1977. ”ga’al;”. Dalam Theological Dictionary of the Old Testament. Ed. G.J. Botterweck and H. Ringgren. Volume II. Michigan: Eerdmans, 350-355.
Schmidt, K.L. 1965. ”ekklēsia”. Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume III. Michigan: Eerdmans, 501-536.
Schrenk, G. 1964. ”dikaiosunē”. Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume II. Michigan: Eerdmans, 192-210.
Stählin, G. 1965. ”isos”. Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume III. Michigan: Eerdmans, 343-355.
Strathmann, H. 1967. ”leitourgeô”. Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume IV. Michigan: Eermands, 215-231.
Verbrugge, V.D. 1992. Paul’s Style of Church Leadership: Illustrated by His Instruction to the Corinthians on the Collection. Dissertation (PhD). San Fransisco: Mellen University Press.Ditulis Oleh : Rev. Dr. Batara Sihombing MTh (www.alkitab.or.id/biblika/sihombing4.htm)
No comments:
Post a Comment