Custom Search

Laksamana Pertama TNI (Purn) Bonar Simangunsong

MYCULTURED

Laksamana Pertama TNI (Purn) Bonar Simangunsong adalah sosok manusia yang selalu ingin belajar. Kisah hidupnya sangat diwarnai proses belajar. Baginya belajar adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang hidup. Ia memang telah mengecap sejumlah pendidikan di dalam maupun di luar negeri.

Keinginan untuk terus belajar adalah kerinduannya untuk dapat berguna membawa suatu kehidupan masyarakat yang lebih baik dan memberkati orang lain dengan talenta yang Tuhan telah berikan kepadanya.

Lulus dari SMA 3B di Setia Budi, Jakarta, ia melanjutkan kuliah di ITB Bandung. Ketika perkuliahan tingkat III terjadi masalah dalam keluarga yang berdampak pada persoalan ekonomi dan pendanaan perkuliahan. Namun masalah itu tidak menghentikannya untuk melanjutkan perkuliahan. Sebuah penawaran beasiswa dari TNI-AL memberikan kesempatan kepadanya untuk dapat terus belajar. Dari sekian banyak pendaftar, pria yang lahir 24 November 1938 ini, satu di antara 20% yang lulus dari seluruh pendaftar.

Walaupun beasiswa telah ia terima, namun itu hanya dapat membantu sebagian dari kebutuhan akedemis. Sementara kebutuhan hidup sehari-hari masih sangat sulit. “Namun, pertolongan Tuhan tidak pernah berhenti,” kenangnya.
Tiga bulan setelah itu, kembali tawaran datang dari TNI-AL kepadanya sebagai Pelajar Calon Perwira, untuk berkesempatan kuliah di luar negeri yaitu di Uni Soviet. Suatu tantangan yang ia inginkan untuk dapat berkunjung dan berkuliah di luar negeri, yang semasa kecilnya hanya dapat dibayangkan dan dibaca melalui buku-buku dan film. Dan pada tahun 1967 ia lulus dari Odessa Polyrechnical Institute dengan menyandang gelar Msc. Sebuah harapan yang Tuhan genapi di luar jangkauan dan kehendak manusia.

Sekembalinya dari Uni-Soviet, ia diterima di TNI-AL sebagai perwira Letnan Satu (Lettu). Ia pun sempat mengajar di Universitas Trisakti. Di masa dinasnya ini ia bertemu dengan seorang gadis Tapanuli, bernama Elizabeth Leistriana Siahaan, yang cantik dan juga yang mengasihi Tuhan. Maklum, gadis itu puteri pendeta W. Siahaan – Perintis Gereja Pentakosta di Tapanuli. Mereka menikah pada tahun 1973 dan dianugerah tiga anak laki-laki.

Pada tahun 1974, kesempatan pendidikan di Amerika terbuka pula baginya sebagai mahasiswa bidang komputerisasi pertahanan di Monterey, California, AS. Saat itu ia sebagai dosen di Univesitas Kristen Indonesia. Masa pendidikan di Amerika memberikan wawasan baru dalam melayani bangsa dan negara Indonesia yang yang ia cintai ini.

Setelah lebih dari sepuluh tahun berdinas di lingkunagan TNI-AL, Bonar Simangungsong telah menjadi Letnan Kolonel (Letkol). Lalu kembali ia mendapat kesempatan dari Dephankam untuk belajar di Australia untuk mendapatkan sertifikat dari lembaga pendidikan staf dan kepemimpinan bergengsi di negeri itu yakni AACS. Lembaga ini dikenal meluluskan orang-orang terbaik di bidangnya. Setelah itu, empat tahun kemudian, lagi-lagi Dephankam memberikan kepercayaan baginya mengikuti pendidikan SESPA sebuah pendidikan bertaraf nasional sebagai pelengkap AACS. Ia pun lulus SESPA sebagai peringkat pertama. Berbekal pendidikan SESPA dan AACS tentulah ia seorang perwira yang profesional dan berwawasan kebangsaan dan internasional.

Kemudian tahun 1986, Bonar Simangungsong diundang untuk mengikuti pendidikan di Amerika Serikat di bidang Pendidikan Manajemen Pertahanan Internasional (IDMC). Di lembaga pendidikan ini, ia talah mengikuti pendidikan komputerisasi pada tahun 1973. Kali ini peserta IDMC datang dari berbagai negara seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Jerman, Kuwait, Saudi Arabia, dan negara-negara Asia Pasifik lainnya. Ia adalah perwakilan dari Indonesia.
Kisah pendidikan Bonar bukan hanya itu. Pada tahun yang sama ia menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara – Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) dan memperoleh gelar Doktorandus. Selepas itu, ia pun mengajar sebagai staf dosen di situ. Sepanjang kariernya ia telah mengikuti bermacam-macam pelatihan, seminar, simposium, dan pendidikan lain yang ada di dalam dan luar negeri. Pengabdiannya kepada negara yang telah ia jalani puluhan tahun telah menempatkan dirinya sebagai salah satu tokoh pionir komputerisasi di TNI-AL dan Dephankam. ”Semua itu adalah bekal untuk melayani Tuhan dan sesama,” tuturnya bersyukur.

Perubahan Besar
Pada saat Bonar berusia 51 tahun, tepatnya tahun 1989, secara tiba-tiba terjadi perubahan besar pada diri dan keluarganya. Tahun 1989 itu merupakan tahun pertobatan, sebagai tunrning point kehidupan rohaninya. Peristiwa ini terjadi akibat kematian anak bungsunya Gurindo Tri Wahyu Simangunsong pada usia 16 tahun. Kepergian Gurindo mencelikan mata rohaninya akan kemahakuasaan Allah sekaligus Kasih-Nya. Katanya, “Tuhan berhak memberi dan mengambil”. Proses pertobatan ini bukanlah terjadi dengan sendirinya, namun juga oleh ketabahan isterinya tercinta yang terus mendoakan dan setia berharap bahwa Tuhan dapat menjamah sang suami. Pertobatan ini membawanya untuk melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Dan karena ketetapan hatinya untuk melayani itu teruji Tuhan meggunakannya, sehingga dengan mujizat yang dari Tuhan, ia dipercayakan untuk bergabung dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional sebagai anggota penyusun GBHN dan segala bentuk pengkajian tingkat Nasional untuk Presiden RI.
Pekerjaan tangan Tuhan tidak berhenti di situ saja, setelah diangkat dengan SK Mensekneg sebagai anggota penyusun GBHN dan berpangkat kolonel, di tahun 1992 oleh keputusan Presiden RI, ia pun diangkat menjadi Laksmana Pertama (Laksma TNI) dengan jabatan Eselon I. Ia pensiun sebagai perwira TNI-AL pada usia 55 tahun (1993) dan pesiun sebagai penjabat pemerintah pada usia 60 tahun (1998)

Kerinduan dalam melayani Tuhan, semakin memantapkannya untuk mencurahkan pehatian dalam membantu sesama. Ia melayani di gereja GBI sejak tahun 1989, dimulai sebagai petugas seksi dan mempelopori persekutuan di Wanhankamnas dan di dua jemaat GBI. Kemudian setelah setia selama 8 tahun melayani, gereja mengangkatnya sebagai pendeta muda yang membina koordinasi staf ahli GBI.

Tiga bulan sebelum masa pensiunnya sebagai pejabat pemerintah, ia di angkat sebagai ketua umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) yaitu sebuah forum komunikasi antar gereja-gereja Jakarta yang berasal dari berbagai aliran gereja seperti, Katolik, Advent, Bala Keselamatan, Baptis, Ortodoks, Protestan, Pentakosta dan Injili. Forum ini berdiri berdasarkan kesadaran kesatuan Tubuh Kristus dan kesatuan Iman melalui kesaksian Roh Kudus.

Pada tahun 2000 lalu, ia diangkat sebagai pendeta oleh sinode GBI selaku anggota Badan pembinaan Rohani Sinode dan sebagai wakil ketua umum Asosiasi Yayasan untuk Bangsa (AYUB). Dan yang paling mengejutkan, di usianya yang ke-62 ia masih menyempatkan kuliah bidang teologia di Institut Filsafat Teologia dan Kepemimpinan Jafrray (IFTKJ) serta kuliah di Universitas Terbuka bersama isterinya. “Secara ekonomi dan karir gelar tidak ada artinya, tetapi dapat memberikan motivasi kepada anak-anak dan siapapun, bahwa proses belajar tidak pernah berhenti sampai mati,” tuturnya.

Saat ini ia tetap aktif sebagai Pendeta di sinode GBI dan membantu Menteri Kelautan dan Perikanan selaku kordinator Pokja Penyusunan Sistem Hukum Kristiani dan sebagai Widyaiswara bagi Diklat kepemimpinan TK II serta SPAMEN.

Refleksi
Sebagai seorang perwira tinggi yang bertobat dan hidup dalam Kristus, Bonar Simangunsong dalam beberapa kali pertemuan menguraikan Refleksi Kristiani dalam Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara Indonesia.
Dalam hal Refleksi Kristiani dalam Bermasyarakat, Bonar mengatakan bagi seorang pengikut Kristus yang kodratnya manusia sosial, hidup dalam bermasyarakat harus menjadi garam seperti yang Tuhan Yesus ajarkan (Matius 5:13). Yaitu menjadi garam bagi sekelilingnya, apapun agama orang lain itu. Demikian juga pada saat yang sama harus menjadi terang dunia (Matius 5 :14).
Kehidupan sosial seorang Kristen adalah bersekutu dan saling tolong menolong, bahkan menganggap milik pribadi menjadi milik bersama dan mereka disukai orang lain (Kis. 2:44-47).
Kalau umat Kristiani menjadi garam, maka sifat garam yang memberi rasa sedap, umat ini pun dapat memberi rasa suka cita kepada orang lain, bahkan mereka yang sedang stres, tertekan dan menderita apapun asal-usul, profesi atau agama orang tersebut. Ibarat garam yang larut tidak kelihatan dalam makanan yang digarami, umat Kristen dengan kasih Yesus yang ada padanya larut tidak kelihatan identitasnya, tetapi terasa kehadiran umat tersebut di tengah-tengah orang lain dan rasa nyaman pun terjadi.
Manfaat lain dari garam adalah mencegah pembusukan, mencegah kehancuran makanan yang digarami. Maka, menurut Bonar, umat Kristiani dapat bertindak seperti itu. Larut mencegah angkara murka, kebencian, keirihatian dan sebagainya. Tentu dengan pertolongan Tuhan.
Dengan perkataan lain, manusia Kristiani harus bergaul dengan masyarakat sekelilingnya, jangan ekslusif, jangan arogan atau menempatkan diri lebih tinggi dari orang lain. Sebagai terang dunia Umat Kristiani dan lembaga-lembaga Kristiani harus menjadi contoh, suri tauladan, taat pada peraturan perundang-undangan, tidak melakukan KKN memberi sumbangan pemecahan pada sekelilingnya yang penuh dengan kegelapan, menguak yang tersembunyi yang jahat melalui terang tersebut yaitu kuasa Roh Kudus.
Dalam Alkitab, Tuhan mengajarkan hidup sebagai masyarakat lebih banyak dari pada sebagai bangsa, karena di dalam masyarakatlah muncul pribadi-pribadi, kehidupan sehari-hari, kegiatan-kegiatan dan interaksi sosial. Tentu ini berhubungan dengan perbuatan yang baik atau jahat, berkat atau dosa. Oleh karena itu umat Kristiani dinilai lebih banyak sebagai anggota masyarakat daripada sebagai bangsa.

Refleksi Berbangsa
Bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa yang mendiami pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke ditambah dengan etnik lainnya yang datang ke Indonesia dan menetap tinggal di negeri ini. Sebenarnya suku bangsa yang disebut asli inipun, juga datang dari negeri lain, seperti dari Yunan di dekat Kamboja, maka yang benar-benar asli tidak ada. Keberagaman suku dan etnik tersebut yang bersatu menjadi bangsa Indonesia, terkenal dengan Bhinneka Tunggal Ika, suatu heteroginitas yang tinggi, namun dapat bersatu. Pernyataan kebangsaan ini dicanangkan dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 oleh para pemuda yang terdiri dari Yong Jawa, Yong Batak, Yong Sunda, Yong Ambon, Yong Aceh, Yong Bornea, Yong Celebes dan sebagainya, yang bersumpah satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia. Sayangnya pada saat itu hanya suku yang muncul, agama tidak.
Penjajahan Belanda, mendorong masyarakat dan rakyat dari Sabang sampai Merauke untuk bersatu melawan penjajahah, apalagi dengan adanya sependeritaan dan senasib yang kemudian mengkristal, sehingga masyarakat tersebut membentuk diri menjadi bangsa.
Satu hal yang patut diingat bahwa Tuhan menetapkan bila manusia bersatu (satu bangsa, satu nusa dan satu bahasa), maka manusia menjadi kuat dan apapun yang direncanakan akan terlaksana (Kejadian 1 1:6) seperti yang terjadi di Babel itu yang kemudian Tuhan mengacaukan bahasa mereka, agar tidak bersatu. Tuhan tidak menginginkan mereka bersatu, karena melawan Tuhan.
Bagi umat Kristiani yang menjadi bagian integral dari bangsa seperti bangsa Indonesia, harus memahami hal ini, dan ikut serta membangun bangsanya, agar kuat dan maju. Nilai persatuan dan kesatuan sering dikumandangkan di bumi Indonesia, bukanlah sekedar retorika pidato, tetapi sesuai Firman Allah. Wawasan Nusantara adalah doktrin persatuan dan kesatuan Indonesia, bersama-sama dengan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya suatu pijakan ampuh untuk membangun bangsa dan harus menjadi pegangan juga bagi umat Kristiani membangun bangsa Indonesia. Maka sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, umat Kristiani tidak boleh eksklusif dan tidak hidup sendiri tanpa memperhatikan bangsanya.

Refleksi Bernegara
Alkitab mengajarkan tentang kenegaraan sebagai berikut: (1) Harus jelas wilayah dan batas-batas negara; (2) Harus ada peraturan perundang-undangan; (3) Harus ada pemimpin negara dan aparat; (4) Pemerintah harus demokratis; (5) Harus ada pembagian tugas yang jelas; (6) Rakyat mempunyai rasa kebangsaan.

Oleh karena itu, bagi umat Kristiani bukan hal asing bernegara dan bahkan karena ada pedoman di AIkitab, mereka harus menjadi warga negara yang baik. Seperti kata Tuhan Yesus, berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi haknya. Dalam hal ini pengertian Kaisar adalah Pemerintah, yang dipimpin Presiden, seperti Indonesia, atau Perdana Menteri, seperti Kanada. Pengertian hak Kaisar, hak Pemerintah, sangat luas, meliputi hukum, politik, ekonomi, penegakan hukUm tentara dan sebagainya, tidak hanya pajak.

Kalau menyandingkan teori kenegaraan dari Alkitab dengan fakta yang ada sekarang di dunia, maka tidak ada yang bertentangan. Walaupun ada perbedaan, yang terutama ditentukan oleh geopolitik, yaitu paradigma kenegaraan dan kepentingan nasionalnya mengacu pada geopolitik tersebut, juga adanya perkembangan dari zaman ke zaman, sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.

Namun Indonesia sebagai negara kepulauan, yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan etnik, apa kata Firman Tuhan tentang hal tersebut? Yesaya 41:1-7, berbicara tentang pulau-pulau dan bangsa-bangsa. Sesungguhnya Tuhan mempunyai rencana besar bagi Indonesia. asal mau berdiam diri untuk mendengarkan Tuhan selanjutnya berbicara dan tampil bersamsama-sama (ayat 1), kemudian harus bergerak dari Timur, berarti di Indonesia dari lrian Jaya, Maluku dan sekitarnya (ayat 2) menuju Barat membawa Firman Tuhan (disimbolkan pedang). Kemenangan rohani datang dari sana.

Indonesia adalah wilayah yang diberkati: pilihan Allah: karena pulau-pulaunya mengharapkan pengajaran dan kasih-Nya (hukum-Nya) akan diterapkan di sana (Yes. 42:4 ), yaitu berdasarkan kasih, saling menghormati dan saling tolong menolong. Indonesia yang tidak mengalami musim dingin tidak akan mengalami apa yang dikatakan Tuhan Yesus pada waktu khotbah di Bukit Zaitun, yaitu siksaan yang belum pernah terjadi sejak awal dunia diciptakan Allah sampai sekarang (Markus 13: 18-19). Puji Syukur pada Tuhan.

Maka Umat Kristiani yang dianugerahi negeri seperti Indonesia dan ikut menegara dengan umat lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia harus rela berkorban untuk bangsa dan negaranya sebagai berikut:

1. Menjadi garam, yaitu bergaul dengan masyarakat sekeliling, menjadi berkat, membantu orang lain, peduli orang lain, rendah hati, larut, tidak arogan dan sombong.
2. Menjadi terang, yaitu memberi contoh yang baik, kalau menjadi pemimpin harus mengayomi, mempunyai pusat-pusat Kristen di daerah-daerah mayoritas Kristen.
3. Menjadi warga negara yang patuh akan peraturan perundang-undangan, mempunyai KTP, membayar pajak, berdisiplin di lalu lintas dan tempat pekerjaan, menjaga nama baiki negaranya
4. Menjaga kepentingan nasional Indonesia, tidak membawa uangnya, kalau ada, ke luar negeri, membangun perekonomian nasional, membangun negaranya.
5. Mendoakan dan menjadi berkat bagi masyarakat. bangsa dan negara Indonesia, serta yang terpenting mendoakan rakyat Indonesia lainya agar dipilih Tuhan menjadi pengikut-Nya.
6. Tidak perlu berusaha menjadikan Indonesia menjadi negara agama, umpama negara Nasrani, sebab Tuhan Yesus mengajarkan, bahwa negara tidak mencampuri agama dan agama tidak mencampuri urusan negara. Hubungan keduanya dapat terjalin, melalui umat, disatu pihak sebagai orang yang beriman, dipihak lain sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara.

Nama:Bonar Simangunsong
Lahir:24 November 1938
Isteri:Elizabeth Leistriana Siahaan
Pendidikan:SMA 3B di Setia Budi, Jakarta,
ITB Bandung
MSc dari Odessa Polyrechnical Institute

***(Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...