Custom Search

SATU TINJAUAN HISTORIS-SINGKAT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KETURUNAN BORSAK SIRUMONGGUR

1. PENGANTAR

Atas permintaan Panitia penyelenggara, makalah ini disiapkan sebagai sebuah sajian ceramah-ringan dalam rangka Program Pembinaan Muda-mudi (Naposobulung) Parsadaan Borsak Sirumonggur (Sihombing-Lumbantoruan) Wilayah Depok dan Sekitarnya, yang diselenggarakan di Pusat Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ciawi-Bogor, pada tanggal 15 s/d 17 Oktober 2007. Atas petunjuk dan pengaturan acara yang dibuat oleh Panitia itu, ceramah ini akan disajikan sebagai opening session (sesi pembuka) program tersebut.

Tujuan penyajian ceramah-ringan ini, ialah agar anak-anak kami, warga paguyuban Sihombing-Lumbantoruan, terutama yang sudah lahir di luar Tanah Batak, dapat menghayati sejarah kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan Borsak Sirumonggur dan keturunannya setelah berlangsung sekitar kurang-lebih 400 tahun lamanya. Suatu sajian historis ringkas, tapi diharapkan cukup menjadi dasar pemahaman bagi generasi muda itu pada permulaan abad ke-21 ini, tentang bagaimana sepak-terjang kakek-moyang mereka di masa silam, yang telah membawa mereka melalui sundut ke sundut (generasi ke generasi), hingga sampai kepada pencapaian (achievement) mereka kini.

2. LATAR BELAKANG SEJARAH (historical background)

Bila kita menelusuri sejarah Borsak Sirumonggur, bahkan orang Batak pada umumnya, barangkali boleh dikatakan bahwa eksistensi mereka belum mencapai 600 tahun. Asumsi ini didasarkan pada generasi marga Sihombing-Lumbantoruan dalam tarombo (silsilah)-nya yang paling jauh ke bawah (advanced), baru mencapai sekitar 20. Dan, bahwa rata-rata satu generasi umumnya adalah 20-tahunan, berarti usia eksistensi mereka masih sekitar 400 tahun lalu. Dengan menelusuri generasi di atas Borsak Sirumonggur masih ada 5 lagi, hingga sampai pada kakek-moyang pertama, kalau klaim itu memang benar atau dapat dipercaya, yang konon namanya ialah Si Raja Batak, maka usia etnik Batak sendiri secara keseluruhan, paling-paling baru sekitar 550 tahun. Berarti, dengan asumsi itu, kurun waktu pemunculan Si Raja Batak itu adalah di sekitar tahun 1350. Padahal kita mengetahui melalui Sejarah Nusantara, bahwa pada tahun 1292, kerajaan Majapahit dari pulau Jawa sudah mengutus pasukan ekspedisinya ke Sumatra, dan bersentuhan dengan sebagian orang Batak, yang bernama Ekspedisi Pamalayu. Apa yang ingin ditunjukkan dengan merujuk kepada asumsi tersebut ialah, bahwa etnik Batak sebenarnya masih sangat jauh tertinggal, atau muncul di belakang berbagai etnik lain dengan kerajaan-kerajaan atau kesultanan mereka di seantero Nusantara.

2.1. Sepak-terjang keturunan Borsak Sirumonggur

Bertolak dari asumsi di muka, maka hitung-hitungan kita akan tahun kelahiran Toga Sihombing (ayah Borsak Sirumonggur) bersama abangnya, bernama Toga Simamora, para putra Raja Sumba, adalah di sekitar antara tahun 1400 dan 1500. Kelemahan pendokumentasian silsilah orang Batak ialah, karena tidak dibuat dalam bentuk tulisan; melainkan hanya dalam pesan lisan (oral message). Dan, kita tahu bahwa cara pendokumentasian seperti itu sangat lemah, karena kemungkinan banyak pesan yang hilang dalam kurun waktu panjang, sebagai akibat keterbatasan memori manusia. Bahaya lainnya ialah, kemungkinan terkorupsikan atau terkontaminasinya sebagian pesan lisan itu di tengah perjalanannya, sebagai akibat yang disengaja untuk “kepentingan” orang atau kelompok yang membelokkan sejarah kaumnya.

Namun bagaimanapun juga, konsensus keturunan Borsak Sirumonggur mengatakan bahwa asal-pertama mereka berkembang-biak adalah di desa Tipang, terletak di pinggir dan bilangan kawasan baratdaya Danau Toba. (Ingat teks Lagu Borsak Sirumonggur kita). Ada empat orang putra Toga Sihombing, yang semuanya terlahir dan sempat beranak-pinak di Tipang; yang tertua, Borsak Junjungan (Silaban); kedua, Borsak Sirumonggur; ketiga Borsak Mangatasi (Nababan); dan si bungsu, Borsak Bimbinan (Hutasoit). Sejalan dengan semakin sempitnya lahan garapan pertanian, sebagai satu-satunya sumber nafkah kala itu, maka secara bersama-sama, mayoritas keturunan dalam keempat marga Sihombing itu memutuskan melakukan migrasi, dengan naik ke dataran tinggi di atas danau, kawasan yang kini bernama Humbang, dengan hanya meninggalkan sebagian kecil mereka dari masing-masing ompu di Tipang.

2.2. Kerjasama saudara sedarah yang kokoh dan mapan

Bukanlah hal yang mudah bagi kawula keempat kelompok Sihombing itu menembus batas-batas desa Tipang untuk bisa naik puluhan kilometer jauhnya ke dataran Humbang. Sebagai akibat dari persaingan, rivalitas dan unjuk kekuatan oleh pihak marga-marga lain pada jalur jalan yang akan dilalui, dengan sendirinya terjadilah benturan, yang oleh kakek-moyang kita, yang di zaman dulu bahkan diceritakan sebagai suatu “perang”; entah seberapa keras atau “lunak”-pun bentuknya.

Karena itu, kemauan, kemampuan bahu-membahu dan bekerjasama secara erat, tentu harus terjalin di antara semua kawula Sihombing itu. Di antara para pemimpin kaum itu, tentu akan muncul atau harus dimunculkan hulubalang alias jawara, yang kala itu disebut juga sebagai datu. Dalam hubungan dan kaitan seperti itulah misalnya, sejarah lisan mencatat, persahabatan seorang jawara dari keturunan Tuan Hinalang bernama Datu Parulas, dengan Datu Dalapang dari keturunan Raung Nabolon, yang kedua-duanya berasal dari putra tertua Borsak Sirumonggur yang bernama Raja Hutagurgur. Sejarah lisan mencatat bagaimana sulitnya mereka keluar dari desa Tipang, untuk bisa tembus ke dataran Humbang, karena penjarahan dan hadangan oleh marga lain di kawasan yang harus mereka lalui. Kelak, perjanjian kedua pendekar itu dilestarikan dengan maksud dan itikad baik oleh para keturunanya, bahkan hingga kini. Perjanjian yang sifatnya sakral itu berbunyi: Tumba-tumba, abal-abal; anggi ni Datu Parulas Datu Galapang”. Sejarah mencatat, bahwa dalam lingkungan keturunan Ompu lain keturunan Borsak Simoronggur, masih cukup banyak terdapat perjanjian-perjanjian sejenis itu, yang bermula dari hubungan kerjasama mempertahankan keselamatan kaum dari serangan ompu marga lain. Jenis perjanjian seperti itu bahkan bisa terjadi dengan keturunan marga lain pula, di tempat pemukiman baru mereka.

Setelah dengan susah-payah berhasil menggapai dataran Humbang yang relatif masih kosong, atau setidak-tidaknya sudah ditinggalkan oleh pemukim (settler) sebelumnya, kelompok keturunan Borsak Junjungan langsung memilih kawasan terdepan, yakn Dataran Silaban, bagian dari kawasan yang mereka temukan. Sementara kelompok Borsak Sirumonggur mengambil kawasan lanjutan ke belakangnya, yakni Lintong Nihuta. Tapi sebagai akibat kecepatan perkembangbiakan yang relatif jauh lebih pesat ketimbang ketiga abang-adiknya, maka dengan sikap kesepakatan-damai di antara mereka, lalu diputuskan melanjutkan migrasinya ke Nagasaribu, Butar, Sipultak, Bahalbatu, Gonting, Aekmas, dan Sibaragas, seperti dijelaskan oleh teks Lagu Borsak Sirumonggur itu.

Naluri dan tekad mempertahankan dan melanjutkan berketurunan, kawula Borsak Sirumonggur terus mengembangkan daerah pemukimannya, seperti disebut-sebut dalam syair lagu Borsak itu. Memperoleh status cukup dihormati di kawasan pemukiman baru, mereka upayakan misalnya dengan menggapai jabatan raja kawasan. Status kepala negeri misalnya, digapai di Pahae. Sementara di Toba Holbung, migran keturunan Borsak Sirumonggur berhasil membangun kampungnya sendiri dengan memberi nama Huta Sihombing; suatu tekad dan rencana yang tidak dengan mudah dilakukan di zaman bahari.

Kemampuan untuk terus mencari daerah panjampalan na lomak (daerah pemukinan baru yang memberi harapan hidup) serta menggapai jati diri yang cukup dihormati oleh marga-marga lain di daerah pemukiman bersama yang baru, tak pelak adalah jasa kakek-moyang yang tak boleh dilupakan generasi masa kini. Migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh keturunan berbagai ompu keturunan Borsak Sirumonggur ke daerah Pakpak-Dairi yang umumnya kita kenal dengan nama Sidikalang saja, amat cukup dikenal oleh keturunannya kelak, yang baru dilakukan sekitar tahun-tahun akhir abad 19.

3. MASA KOLONIAL DAN MISI PENGINJILAN TANAH BATAK

Adalah cukup unik dalam sejarah orang Batak Toba, bahwa kalau kawasan lain di seantero Indonesia, sudah cukup lama didera oleh masa kolonial atau penjajahan Belanda, tidaklah demikian dengan kawasan Tanah Batak, terutama Tanah Batak Utara. Kalau saudara-saudara kita yang beragama Kristen di Indonesia bagian Tengah dan Timur telah menderita tekanan kolonialisme sejak dari abad 17, tidak demikian halnya dengan Tanah Batak. Kawasan Silindung saja, baru secara resmi dianeksasi oleh Belanda pada tahun 1877; dan daerah Batak Utara lainnya hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan, setelah wafatnya Raja Sisingamangaraja pada tahun 1907 di Dairi.

Fakta tersebut memberi pemahaman bagi kita, bahwa keturunan Toga Sihombing, masih secara tulus berjuang bahu-membahu dengan Raja Sisingamangaraja XII melawan pasukan kompeni (Belanda), antara lain dalam Pertempuran Bahalbatu (the Battle of Bahalbatu) pada tahun 1878, yang cukup terkenal dalam sejarah lokal. Salah satu benteng kuat dari Pasukan R. Sisingamangaraja kala itu justru ditempatkan di Butar. Juga ada benteng pelapis di Lintong Nihuta dan Paranginan. Kecuali Paranginan, semua lokasi pertempuran dan benteng yang disebut di muka, berpenduduk mayoritanas keturunan Borsak Sirumonggur. Begitulah generasi muda kini dapat mengetahui peranan moyang mereka dari 5 sapai 6 generasi yang lalu, dalam hal semangat nasionalisme mereka.

Namun ada sebuah fenomena baru dalam zaman itu (k.l. tahun 1860-an), bahwa dalam waktu yang kurang-lebih bersamaan dengan masa kolonialisme di Tanah Batak, Allah Bapa mengutus para misionaris dari Barmen-Jerman, yang bukan alat kolonialisme. Mereka itu membawa misi “Penyelamatan umat manusia” ke Tanah Batak, dilakoni oleh Zendeling (misionaris) I.L. Nommensen dan rekan-rekannya. Masa itu bahkan masih lebih dahulu sekitar 10 s/d 15 tahun, sebelum kolonialis Belanda benar-benar menganeksasi Tanah Batak Utara. Kedua misi yang berbeda ini kelak sering menjadi salah kaprah bagi sementara orang, yang berargumentasi miring, mengatakan misi penginjilan di Tanah Batak adalah alat kolonialis Belanda.

3.1. Kawasan domisili Toga Sihombing yang segera mengambil manfaat

Tanpa meninggalkan semangat nasionalisme dan harga diri mempertahankan martabat terhadap penjajah Belanda, agaknya telah menjadi tekad kakek moyang keturunan Borsak Sirumonggur untuk menerima berita keselamatan yang dibawa oleh para misionaris dengan Sinar Terang Kristus, jauh sebelum kebanyakan kawasan lain mau menerimanya. Bahkan sebelum penginjilan seluruh Silindung tuntas, yang secara resmi dianeksasi Belanda pada tahun 1877, ternyata Bahalbatu, Gonting dan Lobu Siregar yang berbatasan sudah disentuh oleh program penginjilan itu. Sebelum berlangsungnya Pertempuran Bahalbatu pada tahun 1878 yang disebut di muka, raja Bahalbatu, Partaon Angin Sihombing telah menerima misionaris Puse yang diutus oleh Nommensen pada tahun 1876 (Almanak HKBP mengatakan tahun 1872).

Pada tahun 1882 Zending Jerman juga telah membuka pos penginjilan pertama di Lumbanhoda- Butar, menempatkan seorang evangelis dari kelompok mula-mula di sana, Evangelis-Guru Daniel Hutabarat. Pos ini kemudian dipindahkan ke Huta Namora. Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, pos serupa ditempatkan di kampung Borsak Mangatasi, yakni Paniaran. Lebih fokus lagi, seorang zendeling yang baru tiba dari Jerman, bernama Valentin Kessel, ditempatkan di pos penginjilan Lintong Nihuta pada tahun 1882. Namun misionaris itu langsung ditarik, karena di kawasan itu masih terus terjadi perlawanan penduduk bersama pasukan Raja Sisingamangaraja XII terhadap Belanda yang sangat mengganggu keselamatan pekerjaan misi. Baru pada tahun 1901zendeling Kessel kembali ditempatkan secara permanent ke Lintong Nihuta dan sekitarnya. Sebelumnya, zendeling Lewandowski, dan kemudian Lett telah ditempatkan di Silait-lait yang kemudian dipindahkan ke Huta Namora, Butar sekitar tahun 1898.

3.2. Para pelopor yang memotivasi dan menuntun ke arah kemajuan kaumnya

Kedatangan para misionaris Jerman pembawa Berita Keselamatan ke kawasan Humbang dalam waktu yang relatif jauh lebih dini ketimbang banyak kawasan lainnya di Humbang, khususnya ketimbang Humbang Timur, Humbang Barat, apalagi Toba dan Samosir, telah dimanfaatkan amat intensif oleh kawula keturunan Toga Sihombing; khususnya keturunan Borsak Sirumonggur. Sejak saat itu pendokumentasian peristiwa telah dilakukan oleh para pekerja zending, baik yang misionaris Jerman, maupun pribumi yang membantunya. Bericht (berita pelayanan) Zending masih sedini tahun 1880-an, tersimpan dengan rapi hingga kini pada banyak jemaat di Humbang.

Dokumen-dokumen ini, bersama-sama dengan buku dan berita pelayanan yang khusus ditulis dalam bahasa Jerman oleh para pelayan zending berkebangsaan Jerman, memungkinkan kita, generasi masa kini, dapat mengetahui kemajuan dalam bidang spiritual dan duniawi melalui pendidikan yang dapat digapai oleh kawula Borsak Sirumonggur. Mengikuti langkah raja Partaon Angin di Bahalbatu, Raja Ompu Baligabosi di Butar juga menerima Zending dengan tangan terbuka; dan kemudian diikuti oleh raja-raja kampung lokal lainnya. Di kawasan Lintong Nihuta, tercatat Rajaihutan Ompun Tembal Sihombing. Beliau ini justru adalah ipar kandung, yang menikahi ito, Raja Sisingamangaraja XII. Dan kemudian rekan-rekannya raja juga menerima Zending dan kemajuan yang dibawannya dengan tangan terbuka.

Orang Batak Toba berpendidikan tertinggi di sekitar dasawarsa 1880-an hanyalah guru-guru zending, dan kemudian beberapa orang yang terbaik di antara mereka dididik menjadi pendeta pribumi. Mereka inilah yang paling pertama bertekad menyekolahkan putra-putra dan kerabat dekat mereka, dan kemudian semua warga sekawulanya. Demikianlah yang juga terjadi di kalangan keturunan Borsak Sirumonggur. Memang pendidikan baru dimulai dengan sekolah zending yang hanya berdurasi 3-tahunan (kemudian menjadi lima tahunan). Sebagian kecil terpilih mengikuti pendidikan di sekolah guru-zending, satu-satunya pendidikan lanjutan yang baru tersedia di Tanah Batak hingga dasawarsa 1920-an. Tapi efek multiplier hasil pendidikan dan binaan mereka sungguh menakjubkan bagi warga keturunan Toga Sihombing dan warga tetangganya.

Sebenarnya, baru di sekitar tahun 1890-an putra Bahalbatu pertama berhasil tamat dari sekolah guru zending, masih di Pansurnapitu; dia adalah Guru Hadriaan Sihombing, cucu Raja-ihutan O.Toga Tunggal dari Lumban Holbung-Bahalbatu. Adalah guru Hadriaan ini kelak yang menyekolahkan putranya, Frederick Sihombing, dokter hewan dari kalangan orang Batak Toba pertama, yang tamat dari Bogor di sekitar tahun 1929. Drh. Frederick ikut mendirikan PARKINDO di Medan, di sekitar tahun 1945; dialah ayah Prof. Dr. Gottlieb Sihombing, MPH dari FK-UI kini; serta alm. Prof. Dr. Sahala Sihombing, dari FK-Univ. Padjadjaran, Bandung. Setidak-tidaknya masih ada sekitar sepuluhan orang guru-zending pendahulu masa keperintisan putra Bahalbatu, yang mengecap kemajuan dini, sebagai hasil penerimaan yang cukup dini kepada Zending. Di antaranya dapat dicatat Guru Aristarkus Sihombing, ayahanda dari alm. Kol. Lodewijk Sihombing, seorang perwira menengah AD yang pernah menerima Surat Tanda Penghargaan dari Departemen Angkatan Darat Amerika Serikat di sekittar tahun 1970-an, karena batalion infantri yang dikomandaninya merupakan yang terbaik di seluruh Indonesia dalam menggunakan dan memelihara bantuan persenjataan yang diberikan oleh A.S. kepada AD Indonesia di zaman itu.

Bahalbatu masa keperintisan juga melahirkan seorang putra terbaiknya, Albert Lumbantoruan, yang setelah menjadi guru-zending di Gotting, Siborong-borong dan Butar mulai tahun 1910, tamat sekolah pendeta pribumi pada tahun 1922, dan merupakan pendeta bermarga Sihombing-Lumbantoruan yang pertama. Seorang muridnya dari Gotting, yang diberangkatkannya ke sekolah guru zending pada tahun 1913, bernama Fridolin Sihombing, kelak menjadi pendeta bermarga Lumbantoruan yang kedua pada tahun 1929. Pendeta ini beberapa kali menjadi praeses HKBP Distrik Humbang. Bahalbatu juga segera melahirkan para wiraswastawan (menurut ukuran zamannya), yang merantau ke Sumatra Timur masih pada tahun-tahun pertama dalam dasawarsa 1910-an. Di antara mereka misalnya adalah ayahanda Drs. Sumurung Sihombing, seorang pejabat tinggi instansi Bea-Cukai; dan adik bungsunya Todo Sihombing, yang kelak menggapai pangkat Mayjen Purn. AD, dan merupakan salah seorang Direktur BAIS.

Kawasan Butar/Sipultak juga segera menghasilkan putra-putra terbaiknya. Di sekitar awal tahun 1900-an, setidak-tidaknya dua orang putra kawasan ini sudah berangkat mengikuti sekolah guru zending di Seminari Sipoholon. Di antara mereka adalah Guru Julius Wilmar Sihombing dari Sipultak; dia adalah ayahanda dari Pesman Sihombing, yang kelak menjadi pegawai tinggi Departemen Keuangan, dan merupakan eksponen kaum Republikein yang ikut kembali bersama Pemerintah Pusat dari Yogjakarta ke Jakarta pada Januari 1950. Putra bungsu Guru Wilmar adalah Prof. Dr. Dolok Sihombing, Guru Besar IPB, dan dikenal sebagai ahli ternak babi yang pertama di Indonesia. Seorang guru yang sebaya dengan Guru Wilmar ialah Guru Julianus Markus Hariara-Lumbantoruan. Dia adalah ayahanda putra bungsunya, Ds. Palthy Sihombing, M.Th., lulusan Amerika Serikat, yang dua periode menjadi Sekretaris Jenderal HKBP.

Rasanya tidaklah lengkap menyinggung manfaat kemajuan yang dibawa oleh Zending bagi putra Butar, kalau tidak menyebut nama Bapak Alexancder Sihombing dari Banualuhu, Butar, yang sebenarnya tidak bernasib baik untuk lulus mengikuti ujian masuk sekolah guru zending di Seminari Sipoholon pada tahun 1906. Tapi karakter dan sikap kristiani, kebersahajaan dan kejujurannya telah menawan hati seorang Kepala P.U. instansi pemerintah kolonial di Silindung, dan menawarinya menjadi pegawai PU lokal. Merangkak dari strata kepegawaian terbawah, kelak beliau menjadi Mantri PU yang terkenal di kawasan Tapanuli, dan pernah mendapat Bintang-jasa dari Pemerintah. Untuk membalaskan rasa “sakit hatinya” karena tidak diterima masuk sekolah guru-zending di tahun 1906 itu, pada tahun 1934, dia menarik putra sulungnya, Toenggoel Somoentoel Sihombing, dari sekolah AMS dan diutus mengkiti angkatan pertama Sekolah Tinggi Teologi yang baru dibuka di Batavia (Jakarta). Putra sulungnya itulah yang kelak kita kenal sebagai Praeses Tapanuli Selatan pada awal periode pendudukan Jepang; dan kemudian menjadi Pendeta Resort Medan sambil menjadi Pj. Praeses Medan/Sumatra Timur. Kemudian menjadi Direktur Kampus Seminari Sipoholon pada tahun 1950-1953; bersambung dengan menjadi Rektor Universitas HKBP Nommensen mulai tahun 1953, sebelum terpanggil/terpilih menjadi Sekretaris Jenderal HKBP hingga tahun 1962. Pada tahun ini beliau terpilih menjadi Ephorus HKBP yang ketiga dari kalangan pendeta pribumi, yang dijalaninya hingga tahun 1974. Prestasi pelayanannya mengantarkan beliau menerima gelar Doktor (HC) dari Jerman, dan hanya merupakan yang kedua, hingga kini, setelah Ephorus Dr (HC) Justin Sihombing-Hutasot. Bahkan setelah menjadi ephorus emeritus, Ds. Toenggoel Sihombing diangkat oleh pemerintah untuk dua perode menjadi anggota DPR/MPR RI, yang kelihatan seperti akan melanjutkan peran yang sudah pernah dipegangnya, ketika terpilih menjadi anggota Konstituante pada periode 1956-1959.

Tentu saja, melanjutkan berita kemajuan dan pengambilan manfaat dari misi yang dibawa oleh Zending bagi kawula keturunan Toga Sihombing di kawasan Butar, dapat disebut eksistensi Guru Djonathan Sihombing-Nababan dari Lumban Sipariama, yang telah mengikuti pendidikan sekolah guru berbahasa Belanda, HIK, di Solo masih di sekitar tahun 1910-an. Beliaulah ayahanda Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, LlD, ephorus HKBP yang kelima dari kalangan pendeta pribumi, yang kini menjadi Ketua WCC untuk wilayah Asia.

Melanjutkan berita tentang manfaat yang dibawa oleh Zending bagi kawula keturunan Borsak Sirumonggur di kawasan Lintong Nihuta, dapat disebut sikap baik raja-raja Lintongnihuta menerima Berita Keselamatan Kristus. Tiga orang lagi pura Borsak Sirumonggur dari kawasan ini yang menamatkan pendidikan sekolah pendeta hingga masa kedatangan tentara pendudukan Jepang, yakni Pdt.Gomar Sihombing (1935); Pdt. Lemanus Sihombing (1939); dan Pdt. Kenan Lumbantoruan, (1941) yang pernah menjadi pendeta-tentara; direktur Seminari Sipoholon; dan Pjs. Ephorus. Puluhan guru zending juga dihasilkan oleh kawasan Lintong Nihuta dan Nagasaribu di zaman keperintisan itu. Dan putra Borsak Sirumonggur keenam, Ds. DR (HC) Toenggoel Sihombing, adalah penerima tahbisan pada tahun 1941.

Setelah masa kemerdekaan, puluhan guru-zending muda dari kalangan keturunan Toga Sihombing pada akhir masa penjajahan Belanda, terpanggil mengikuti seklah pendeta pasca-revolusi kemerdekaan. Di antara mereka antara lain ialah: Pdt. Gayus Lumbantoruan, yang beberapa periode menjadi Paraes Humbang; beliau adalah ayahanda Ketua Parsadaan Borsak Sirumonggur kini, St. Rotua Lumbantoruan. Para pendeta lainnya ialah: Pdt. Paulus Lumbantoruan; Pdt. Santun Sihombing; Pdt. Abisai Silaban; dan puluhan lainnya.

3.4. Merambat ke kemajuan umum di luar pelayanan Zending di pulau Jawa

Pada tahun 1920-an putra-putra Batak Kristen sudah mempunyai kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan lain di luar Zending dan Tanah Batak. Sekolah lanjutan berbahasa Belanda, MULO, dan yang setara dengan itu turut dimasuki putra-putra Borsak Sirumonggur. Sebagian mereka lalu melanjutkan ke sekolah kepamong-prajaan, sekolah guru, sekolah dokter hewan, sekolah mantri kesehatan, dlsb., yang semuanya berbahasa Belanda. Puluhan mereka menggapai ijazah tertinggi di bidang keguruan. Beberapa orang kelak menggapai jabatan asisten demang, seperti misalnya ayahnda Ir. Th. Halomoan Lumbantoruan, pensiunan pejabat PLN, dan mantan Ketua Umum Parsadaan Borsak Sirumonggur. Juga dapat disebut mantan Asisten Demang Bonifasius Sihombing, yang adalah ayahanda Ir Poltak Sihombing (pensiunan pejabat tinggi Dept. PU); serta Ir. Panahatan Sihombing, M.Sc., mantan Direktur Perencanaan PLN. Bonifasius kelak sempat mendirikan Partai Kristen, jauh sebelum masa Revolusi Kemerdekaan tahun 1945.

Di antara generasi pelanjut, tercatat Pak Sihombing yang sempat menjadi Bupati untuk Wilayah Humbang di zaman Revolusi Kemerdekaan. Namun sayang, beliau gugur sebagai korban “Revolusi yang menelan anak-anaknya sendiri”, sebagai akibat rivalitas di kalangan Pasukan-pasukan Perjuangan, yang membawa imbas tewasnya beliau. Dia adalah ayahanda Ir. Johan. M. Sihombing, mantan pejabat eselon-1 pada Departemen Koperasi; serta adiknya, Mayjen (Purn) Tulus P. Sihombing, SE, mantan Waka BIA.

Banyak di antara pemuda-pemuda Borsak Sirumonggur yang langsung tinggal bermukim di pulau Jawa, terutama Batavia (Jakarta), sejak menamatkan pendidikan mereka mulai tahun 1920-an. Setelah berkeluarga, rumah dan keluarga mereka banyak menjadi tempat tompangan, setidak-tidaknya persinggahan sementara, pemuda-pemudi Borsak Sirumonggur, Toga Sihombing lainnya, maupun para kerabat yang ingin menggapai kemajuan lebih lanjut di Jakarta, masih pada zaman penjajahan Belanda. Mereka itu antara lain adalah St. Elias Sihombing dan seorang adiknya, berasal dar Nagasaribu; Theopulus Sihombing, dari Butar; juga Mantri kesehatan Nababan dari Nagasaribu. Selain memberikan tompangan sementara, terutama mereka memberi pengarahan bagi para perantau lanjutan untuk mencari pekerjaan, maupun bagi yang akan melanjutkan pendidikan. Hampir semua orangtua atau keluarga keturunan Toga Sihombing itu bisa bertahan hidup dalam masa-masa sulit pada zaman pendudukan Jepang, dan zaman Revolusi di Jakarta.

3.5. Situasi lanjutan, mulai dari masa Kedaulatan Kemerdekaan

Keluarga tua-tua Borsak Sirumonggur yang sudah bermukim di Jakarta sejak masa penjajahan itu, segera dibauri oleh kelaurga-keluarga muda, terutama yang baru datang ke Jakarta karena Indonesia telah mendapat kedaulatan penuh kemerdekaannya. Di antara mereka adalah pejabat-pejabat instansi pemerintah yang ikut kembali dari pengungsian di Yogjakarta, seperti Bapak Pesman Sihombing, yang sudah disebut di muka; MMB Sihombing (Nababan) berasal dari Pahae; ODP Sihombing, yang kelak menjadi pejabat tinggi Departemen Penerangan dan diplomat. Ada juga beberapa perwira-polisi yang minta pensiun dini dan menjadi pengusaha, seperti Bistok Sihombing, yang kelak menjadi Ketua Umum Toga Sihombing yang pertama di Jakarta. Demikian pula Bapak Syarif Sihombing, yang adalah ayahanda Laksma (Purn) Maninga Sihombing.

Pada zaman inilah muncul pemuda-pemuda pelajar dari kalangan Toga Sihombing, yang ingin menggapai kemajuan setelah tersendat-sendat dari zaman pendudukan Jepang dan Revolusi. Di antara mereka itu adalah Mulister Silaban (dari Silaban), kelak pensiun dari jabatan Jaksa Tinggi; P.R. Oloan Sihombing (dari Bahalbatu), pensiun dari jabatan Kepala Cabang Bank Indonesia di berbagai propinsi; Washington Nababan (kelak lebih terkenal dengan nama Wahyu Sihombing), yang terkenal sebagai cineas Indonesia terkemuka, jebolan pendidikan di Amerika Serikat. Patut disebut pula Bapak Dr. (HC) Marnixius Hutaosit, yang kala itu sudah menjadi Sekretaris Jenderal Dept. P & K; beliau adalah ayahanda Dr. Ruyandi Hutasoit, seorang penginjil yang kelak menjadi Ketua Umum PDS.

Secara sambung-menyambung para muda-mudi Toga Sihombing muncul di Jakarta, dan mendapat bantuan pengarahan dan tompangan sementara dari para tua-tua dari generasi lama dan baru yang disebut di muka, baik secara pribadi maupun melalui paguyuban Toga Sihombing, sebelum kemudian berdiri sendiri-sendiri, seperti Borsak Sirumonggur, sejak tahun 1970-an. Apa yang ingin saya tunjukkan melalui sejarah ringkas ini ialah, betapa indahnya sikap persatuan bahu-membahu dari saudara seketurunan itu, bahkan sudah sejak masa asalmula perkembang-biakan mereka mula-mula, dan migrasi-migrasi yang mereka lakukan ke pemukiman baru.

4. LALU: DALAM KEADAAN APAKAH GENERASI KINI BERADA?

Pertanyaan dalam sub-judul di atas sangat musykil untuk dijawab secara spontan. Masihkah paguyuban ini bermanfaat di masa y.a.d. seperti yang diharakan oleh para pendirinya, dengan mengacu kepada sejarah bani Borsak Sirumonggur yang disajikan di muka?

Dalam pelaksanaan Partangiangan Tahunan Borsak Sirumonggur di sekitar dasawarsa 1990-an, mungkin acara sejenis terakhir yang diikuti oleh Ephorus (Em) Ds. DR. (HC) Toenggoel Sihombing, beliau menitipkan sejumlah uang dan pesan kepada Ketua Parsadaan yang baru terpilih kala itu, St. Drs. Topgap Lumbantoruan. Pesan yang disampaikan ialah:

Buatlah uang ini sebagai modal pendahuluan, dan yang seharusnya terus ditambah oleh warga anggota Parsadaan, untuk membiayai anak-anak anggota yang cerdas tapi kurang mampu, dalam upaya mencapai pendidikan yang layak.

Mungkin jumlah dan nilai uang yang diamanahkan itu tidaklah terlalu besar, apalagi bila diukur dengan nilai dan besaran masa kini. Tapi harus diakui bahwa nilai pesannya sangat mulia. Solusi umum yang harus dipikirkan: Bagaimana cara memanfaatkan peranan Paguyuban dan semangat bahu-membahu yang sudah diemban kakek-moyang sejak zaman mula-mula, untuk mengangkatkan harkat dan kemajuan warga seketurunan?

4.1. Sudah ketinggalan jauh?

Dalam sebuah pertemuan baru-baru ini, saya terhenyak dan merenung dalam-dalam, terhadap sebuah pernyataan risau seorang kawan yang berbunyi begini: “Saya menengarai, kini pejabat terkemuka di kalangan pemerintahan/negara yang berasal dari keturunan Borsak Sirumonggur, kini sudah sangat menurun dan jarang”!!

Saya kira pengamatan dan penyiasatan itu sangat benar adanya. Hanya saja, tendensi menurun itu pasti dialami oleh semua warga keturunan Batak Kristen; bahkan juga warga Kristen lain dari seluruh Indonesia. Harus difahami, bahwa sebuah tindak yang sistemik, telah terjadi di negeri ini dalam bentuk diskriminasi; kadang terselubung; tapi banyak yang terasa dengan nyata-nyata.

Lalu apakah kita harus berpangku tangan saja? Justru dalam kondisi nasional seperti itu kita warga se-paguyuban harus semakin sadar, dan berupaya bahu-membahu mengangkatkan diri dari berbagai ragam kendala yang kita hadapi. Beberapa paguyuban Batak lainnya, secara nasional, bahkan sedunia (bukan hanya se-Jabodetabek) telah sering menyelenggarakan pertemuan tahunan atau periodik lainnya, untuk membahas dan merumuskan hal-hal yang bisa diupayakan untuk memajukan kaumnya. Beberapa paguyuban marga itu misalnya telah mengeluarkan bulletin triwulanan, untuk menjadi media penghubung memberi informasi bagi warga semarga di seluruh dunia. Informasi seperti itu bisa digunakan untuk memberitahukan adanya peluang dan kesempatan-kesempatan yang dapat diraih, terutama bagi anak-anak muda warganya.

Ada satu periode di sekitar dasawarsa 1980-an, bahwa sekitar empat-lima orang keturunan Borsak Sirumonggur menduduki jabatan eselon-2 dan -1 dalam instansi-instansi pemerintah kita. Dan kalau kini kita “tidak kebagian” jabatan-jabatan tinggi seperti itu lagi, kita harus berfikir untuk berobah haluan. “Karena bukan hanya satu jalan saja, menuru Roma,” seperti kata orang bijak. Tidak bisa menggapai jabatan di sektor ini, tetap saja ada peluang di sektor sana. Yang dibutuhkan adalah sikap kesadaran dan kemauan keras, guts dan etos kerja yang tinggi. Selalu saja ada kesempatan untuk menjadi seorang ilmuwan, dan inventor yang sukses. Konon jenis budidaya “Kopi sigarar utang” ditemukan oleh seorang pemuda Sihombing (Humbang), bersama rekannya orang asing. Kita sudah tahu bagaimana manfaat besar produk itu telah mengangkat taraf hidup orang Humbang (pada umumnya) kini.

Menjadi ilmuwan dan wiraswastaan, terbuka bagi siapa saja yang berkemuan keras. Ada puluhan ribu pemuda yang tamat dari setiap strata dan jenis pendidikan setiap tahun. Tapi hanya hitung jari saja yang menjadi ilmuwan dan wiraswatawan yang sukses. Yang lain mungkin hanya sebagai orang yang mengarapkan iba hati pemerintah atau komunitasnya, yang tak akan kunjung diperolehnya. Ilmuwan manajemen praktis selalu berseru: “Don’t just be a mediocre; be the best!! (Jangan hanya sekedar penggapai nilai sedang-sedang saja; jadilah yang paling jempolan).

Mungkin kelihatan hanya sebagai semboyan atau seruan yang bombastis. Memang sah-sah saja beranggapan demikian, terutama oleh orang yang tak bercita-cita dan berpengharapan jauh. Orang yang telah dicekoki oleh sikap cukup memperoleh nilai “sedang-sedang saja dan asal lulus”, mungkin kelak akan hilang saja ditelan oleh gelombang kerasnya persaingan zaman.

Semua yang saya jelaskan di muka mengacu kepada hasil etos kerja. Dan, bila dipertanyakan, apakah anak-anak kami generasi muda masa kini, yang masih duduk di kelas terakhir SLA dan mahasiwsa, sudah harus dituntut dan dibebani sikap menghargai etos kerja, jawabannya singkat saja: Sudah!!! Kalaupun Anda semua masih berada di bawah kepak sayap orangtua sendiri, bahkan masih disaji dengan berbagai fasilitas yang cukup memanjakan menurut ukuran zaman ini, maka jangan lengah. Belajar bagi Anda semua adalah tugas kerja. Dan pekerjaan itu haruslah didasari oleh etos yang tinggi.

Hasil penelitian masa kini menunjukan sebuah tendensi, bahwa anak-anak dalam keluarga Batak yang menikmati pekerjaan/jabatan lumayan sebagai hasil revolusi kemerdekaan yang sudah dinikmati mulai dasawarsa 1960-1990-an, ternyata banyak yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat terhadap kerasnya persaingan dalam masyarakat mulai periode itu, dan sesudahnya. Anak-anak yang “dijejali” dengan konsumsi barang mewah (mobil, rumah lux, gizi yang melampaui batas hingga menciptakan obesitas), kalaupun bisa tamat dari perguruan tinggi, cenderung hanya bernilai sedang-sedang saja; dan tak punya kemampuan bersaing memperoleh lapangan kerja, kalau bukan karena fasilitas sesaat di luar kewajaran.

4.2. Belajar sebagai bagian dari etos kerja pemuda

Cukup beruntung anak-anak muda masa kini yang masih diperkenankan oleh lingkungan keluarga dan kemampuannya sendiri untuk terus melanjutkan pelajarannya. Banyak pemuda yang bahkan sudah harus putus sekolah; setidak-tidaknya, hanya akan melanjutkan, setelah memeproleh sejumlah dana sebagai hasil kerjanya. Oleh karena itu manfaatkanlah ksempatan belajar itu dengan maksimum. Sama seperti melakukan pekerjaan aktual dalam praktek, yang sering dilakukan seseorang secara maksimum bahkan tambahan ekstra. Maka seperti itulah para pemuda diharapkan bersikap dalam tugasnya bekerja, yakni belajar itu.

Bahaya yang mendegradasi anyak pemuda di seluruh dunia kini, bahkan termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat, adalah keenggananan mereka untuk belajar. Amat banyak pemuda yang memilih tidak mau membaca lagi. Banyak yang salah kaprah, bahwa bisa ber-SMS-ria dan ber-internet-ria, adalah dianggapnya sudah puncak dari belajar, dan segala-galanya. Bisa ber-SMS-ria, dan ber-internet-ria, hanyalah sebuah manifestasi hasil penemuan oleh ilmuwan hebat di dunia. Tapi Bill Gates, si genius pencipta system computer yang terkenal dan terkaya sejagat, menciptakannya dengan lebih dahulu belajar tak henti-hentinya. Alat-alat elektronik dan komunikasi modern adalah hasil ciptaan para ilmuwan inventor. Tapi alat-alat itu hanya merupakan sarana; para penggunanya tidaklah otomatis pintar tanpa harus membaca dan belajar dengan serius.

5. Keturunan Toga Sihombing dan konsistensi menjalankan adat-istiadatnya

Adat-istiadat adalah salah satu aspek kebudayaan (seperti halnya agama, kesenian, hukum, ilmu pengetahuan, dlsb.) yang sangat berperan dalam kehidupan suatu komunitas/bangsa. Semakin beradab suatu komunitas, mereka juga akan semakin beradat. Adat itu mengikat hubungan yang harmonis dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Tak ada manusia beradab dalam pertumbuhannya di dunia, yang tidak beradat. Ia mengatur hubungan antar pribadi dalam keluarga; hubungan keluarga atau kelompok keluarga dengan keluarga lain dalam satu komunitas. Aturan-aturannya mengikat untuk kebaikan bersama kaum.

Ketika bani keturunan Toga Sihombing itu sudah berkembang-biak di dataran Humbang, diperkirakan dalam generasi ke-8 s/d 10-an, mereka membuat suatu “revolusi” besar dan signifikan, berbunyi: “Silaban – Hutasoit – Nababan – Lumbantoruan; molo gabe hita sogot, hita do masiboru-boruan”. Harfiah berarati: “Kalau kita kelak beranak-pinak, maka kitalah yang akan saling mengawinkan anak-anak kita”. Tapi seperti juga dipegang kukuh oleh marga-marga lain, tidak berarti pembentukan marga-marga baru di seantero seketurunan dengan mudah saja dilakukan (dideklarasikan), dengan maksud untuk memfasilitasi perkawinan semarga. Di tempat migrasi/perantauan yang jauh, warga serumpun seperti keturunan Toga Sihombing (Silaban, Lumbantoruan, Nababan, Hutasiot) bahkan kembali tidak melakukan kawin-mawin, dan semua menyebut marganya SIHOMBING saja. Fenomena ini misalnya terjadi di Pahae.

Mungkin ada beberapa aspek adat-istiadat Batak, khususnya Borsak Sirumonggur yang dilihat sepintas oleh generasi mudanya sebagai terlalu sulit untuk diikuti oleh mereka. Barangkali generasi tuanya perlu melakukan penyederhanaan sedikit demi sedikit. Namun esensi adat aslinya tidak boleh hilang. Kebudayaan adalah yang menandai jatidiri semua bangsa/etnik di dunia. Tanpa kebudayan itu, seseorang bisa dianggap tidak punya jatidiri, atau orang yang hilang. Dan adat-sistiadat, adalah aspek penting dari kebudayaan itu. Karena itulah kami kaum tua-tua harus mengajak dan membimbing generasi muda Borsak Sirumonggur untuk mengenal dan menjalankan adatnya, sebagaimana mestinya. Tugas ini sudah dilakukan oleh tua-tua kita sejak dari masa mula, atau keperintisan, yang membawa kita sampai kepada keadaan hari ini.

6. PENUTUP

Ceramah ini akan saya akhiri dengan sebuah kesimpulan sederhana, bahwa kakek-moyang keturunan Borsak Sirumonggur sejak zaman dulu telah bekerja dengan etos yang sangat tinggi, beradab dan beradat. Mereka belajar dengan sungguh-sungguh untuk menemukan cara-cara meningkatkan kemakmuran dan keselamatan kaumnya. Mereka bahu-membahu, terutama karena ikatan keturunan sedarah. Masihkah etos seperti itu relevan bagi keturunannya pada awal abad ke-21 ini. Kita doakan, semoga!

*****

Tentang Penceramah

Pirmian Toea Dalan Sihombing dilahirkan pada tanggal 26 Februari 1936, di kawasan Pahae, sebagai putra ke-6 dan anak ke-13 dalam keluarga pendeta-desa yang bersahaja, Pdt. Albert Sihombing-Lumbantoruan, angkatan ke-X dari kalangan pendeta Batak pada tahun 1922, dan ibunya Orem Boru Hutabarat. Kala itu ayah-bundanya sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Bersalin di kota Tarutung. Dia menikah dengan Mintha Uluhon Parotua Boru Hutabarat, dikaruniai seorang putra dan lima orang putri, serta sepuluh orang cucu.

Menjalani pendidikan Sekolah Dasar di Muara/Bahalbatu (tamat 1950); SMP/B Kristen-Bersubsidi di Seminari Sipoholon (1953); SMEA Negeri Jakarta (1957); lulus Sarjana Muda Pendidikan Ekonomi pada FKIP Univ. Negeri Padjadjaran (1961); dan Sarjana Pendidikan Ekonomi dari FKIP Universitas Indonesia (1964). Kemudian, sambil bekerja di Filipina, menggapai gelar Master of Science in Commerce, major in Banking & Finance, pada Far Eastern University, Manila, 1972. Mengikuti bimbingan kuliah Metodologi Research, persiapan penulisan disertasi doktoral dalam Program Alumni KAGAMA di Jakarta, selama dua semester, 1986/1987. Terakhir mengikuti kuliah doktoral pada Sekolah Tinggi Teologi INALTA (yang berafiliasi dengan George Fox University, Oregon, USA), dan berhasil mempertahankan disertasinya dalam ujian-terbuka di hadapan Senat STT tersebut, dengan predikat Sangat memuaskan, pada tanggal 16 Agustus 2005, dengan judul disertasi: Kontribusi pengorbanan Pendeta Josia Hutabarat sebagai solusi dalam gejolak konflik kemandirian-dini gereja-gereja Batak berakar Rheinische Missions-Gesellschaft; Sebuah studi kasus pelayanan zaman keperintisan; Medan, 1912-1930.

Pengalaman kerjanya amat beragam; memulainya sebagai guru-negeri di lingkungan Dept. P & K di Bandung pada tahun 1957; kemudian menjadi kepala sekolah pada Kursus Karyawan Perusahaan Negara, dari 1962-1964 di Jakarta; pada tahun 1965 beralih menjadi planters, terahir menjabat deputy manager pada Perusahaan Perkebunan Negara “Dwikora” di Medan, sampai tahun 1969. Awal tahun 1970 berangkat ke Filipina, untuk bekerja sebagai local staff pada KBRI Manila, sambil mengikuti perkuliahan tingkat masters. Dalam kurun waktu itu dia sempat mengajar selama dua semester (1971/1972) pada Asian Center, University of the Philippines.

Tahun 1973 beralih menjadi Staff-Consultant pada Sycip, Gorres, Velayo (the SGV Group) di Manila; dan setahun kemudian dipindahkan menjadi Konsultan Senior pada PT SGV Utomo di Jakarta, memberi konsultasi dan bimbingan kepada banyak proyek-proyek Bank Dunia di Indonesia. Pada awal 1980 beralih lagi menjadi staf ahli pada kantor Commercial Councelor, US Embassy di Jakarta. Jabatannya terakhir ialah Manager of Research and Analysis pada US Business Center. Dia menjalani masa pensiun penuh dalam usia 62 tahun pada tahun 1998, dan kini sebagai penerima pensiun tetap dari Pemerintah Amerika Serikat.

Sejak tahun 1962 dia aktif mengajar paro-waktu pada berbagai perguruan tinggi, seperti Akademi Maritim Indonesia (AMI); Akademi Sekretaris & Manajemen Indonesia (ASMI); Akademi Arsitektur Pertamanan (AKAP); dan dosen senior pada FE- Universitas Kristen Indonesia (1978-1990). Pada tahun 2001-2003 dia mengajar sebagai dosen senior pada STT Apostolos di Jakarta; dan sejak bulan November 2005,diangkat menjadi guru-besar tetap lokal, pada STT INALTA di Jakarta.

Di lingkungan Gereja, dia sudah menjadi anggota Board of Elders (semacam penatua) pada Lutheran Church of the Philippines di Manila (1970-1973). Pada tahun 1978 menerima tahbisan Sintua pada HKBP Kebayoran Lama, hingga terpilih menjadi Guru Huria mulai tahun 1986, yang dilakoninya selama tiga periode hingga menjalani masa purna-tugas pada tahun 2001. Dalam periode 1992-1998, dia terpilih menjadi salah seorang anggota Parhalado Pusat (Majelis Pusat) HKBP, dan mengemban tugas sebagai Ketua Dewan Keuangan Umum HKBP.

Dunia kepenulisan sudah digelutinya sejak dasawarsa 1970-an. Puluhan makalah disajikannya kepada berbagai komunitas dan audience di Indonesia, Hong Kong, Filipina dan Amerika Serikat. Dia sudah menulis 11 buah buku, dengan ketebalan keseluruhan sekitar 4000 halaman. Di antara bukunya yang mendapat apreasiasi dari mancanegara, antara lain dari The Library of Congress, USA, adalah bukunya yang berjudul gabungan Seri Sejarah Penginjilan di Tanah Batak. Salah satu bukunya (2001) adalah biografi Ephorus (Em) Ds. Dr (HC) Toenggoel Sihombing, berjudul: Pelayanan Komtemporer Dalam Masyarakat Majemuk; Pengabdian Ephorus Emeritus Ds. Dr. Tunggul S. Sihombing.

Oleh:
St. Prof. Dr. P.T.D. Sihombing, S.Pd., M.Sc.
Guru-besar Missiologi dan Sejarah Gereja
Sekolah Tinggi Teologi INALTA, Jakarta
http://sihombing.lumbantoruan.net

No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...