Custom Search

SEJARAH TERBENTUKNYA TOGA SIPOHOLON

MYCULTURED

Menurut pengakuan Torang Hutauruk seorang yang dituakan di Sipoholon bahwa terbentuknya Toga Sipoholon bermula dengan persoalan antara Sibagariang dengan Marbun pada masa itu. Adik-adik Sibagariang dari kelompok Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang mengambil inisiatif untuk melerai persoalan dengan mengungsikan kelompok Marbun dari tiga kampung itu ke kampung marga Sihombing arah Humbang maka muncullah ‘padan (sumpah janji)’ sebagai awal adanya Toga Sipoholon dan Toga Marbun dengan inti padan bahwa Hutauruk dan Marbun Lumban Batu menjadi abang adik yang keturunannya tidak boleh ‘masiolian’, kemudian Simanungkalit dengan Marbun Banjar Nahor menjadi kakak beradik yang keturunannya tidak boleh ‘marsiolian’, dan Situmeang menjadi abang adik dengan Marbun Lumban Gaol yang keturunannya tidak boleh ‘marsiolian’. Padan ini sampai sekarang memang dipegang teguh dan dihormati oleh masing-masing pasangan marga yang ‘marpadan’, dan itulah kekuatan suatu padan kepada Mulajadi Nabolon yang sampai generasi selanjutnya harus dituturkan oleh orang-tua kepada anak-anaknya.

Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang sudah jelas merupakan marga-marga yang menjunjung kemuliaannya dan oleh karena adanya padan yang dikelompokkan dalam suatu parsadaan yang disebut Toga Sipoholon. Sebagai Toga Marbun, maka resmilah Lumban Batu, Banjar Nahor, Lumban Gaol menjadi marga-marga yang juga menjunjung kemuliaannya berdasarkan padan-padan antar Toga Sipoholon dan Toga Marbun. Di antara padan ini tentu saja Sibagariang tidak ikut serta akan tetapi bukan berarti bahwa Sibagariang bukan keturunan Naipospos, malah Sibagariang adalah kakak yang bersoal dengan adiknya. Dari penguraian ini maka jelaslah bahwa Naipospos menurunkan 5 orang penerus generasi yang disebut Donda Hopol (Sibagariang), Donda Ujung (Hutauruk), Ujung Tinumpak (Simanungkalit), Jamita Mangaraja (Situmeang), dan Marbun. Dengan penjelasan ini sudah sah bahwa Naipospos tidak menurunkan generasinya antara dua toga yaitu Toga Sipoholon dan Toga Marbun karena masih ada Sibagariang yang tidak termasuk dalam dua toga tersebut. Kemudian bahwa adanya tujuh marga-marga pinompar Naipospos adalah karena adanya persekongkolan antara dua toga-toga tersebut sehingga terbentuk 7 marga yaitu 6 marga pada dua toga yang marpadan dan ditambah satu marga Sibagariang. Maka Naipospos menurunkan 5 orang penerus generasinya sebagai kebenaran yang dapat dijelaskan. Oleh karena padan inipula maka dua toga-toga ini memanggil haha kepada Sibagariang dan Sibagariang pun masuk dalam kelompok yang empat marga dilahirkan oleh ibu marga Pasaribu yang pertama dikawini oleh Raja Naipospos.

Bagi saya, pernyataan di atas cukup masuk akal. Dikemudian hari, kiranya Toga Sipoholon tidak diidentikkan lagi sebagai nama kumpulan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Karena akan menimbulkan salah paham (mengerti) bagi kalangan muda sebagai generasi penerus marga Naipospos di kemudian hari. Dikhawatirkan apabila Toga Sipoholon masih digunakan maka akan dianggap sebagai salah satu putera Raja Naipospos padahal tidak.

Hingga saat ini telah banyak terbentuk di beberapa daerah Toga Sipoholon. Usaha pembentukan Toga Sipoholon di Hutaraja Sipoholon pernah terjadi. Tetapi oleh pertidaksetujuan para tetua marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang yang tentunya lebih banyak tahu lagi tarombo, maka Toga Sipoholon tidak dapat dibentuk di Hutaraja Sipoholon. Karena memang demikianlah seharusnya.

Memang diakui, sebenarnya antara keturunan Raja Naipospos dari isteri pertama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) dengan isteri kedua (Marbun) tidak boleh dipisahkan dalam 2 (dua) parsadaan toga atau persatuan kumpulan. Tetapi apa boleh buat, marga Marbun (Lumban Batu-Banjar Nahor-Lumban Gaol) telah terlebih dahulu membentuk persatuan kumpulan yaitu Parsadaan Toga Marbun. Tetapi hal tersebut bisa dimaklumi karena Marbun jauh lebih banyak bilangannya dibanding keturunan isteri pertama Naipospos. Oleh karena itu, persatuan kumpulan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, dikemudian hari adalah lebih baik dengan nama Parsadaan Pomparan Raja Naipospos Tubu ni Ina Naparjolo. Akan tetapi, di atas semuanya itu adalah lebih baik keturunan Raja Naipospos disatukan dalam satu toga yaitu Parsadaan Pomparan Raja Naipospos Silima Saama Pitu Marga.

PRO DAN KONTRA TERHADAP TOGA SIPOHOLON
------------------------------------------------------------
Pro dan kontra saat ini mungkin adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Tetapi apabila dilihat secara saksama, alangkah jarang terjadi kontra pada marga di Suku bangsa Batak dalam membicarakan tarombo (silsilah). Berikut ini pro dan kontra yang langsung dialami sendiri oleh Haran Ompu Basar Solonggaron Sibagariang (alm) sebagai mantan Kepala Negeri Huta Raja. Kisah ini ini diterjemahkan oleh perintis artikel ini ke dalam bahasa Indonesia dari buku sederhana yang disusun oleh Haran Ompu Basar Solonggaron Sibagariang sendiri dalam bahasa Batak.

Tahun 1921 ketika umur saya masih 27 tahun, Assistent Demang dan Demang datang ke Huta Raja meminta agar membuat tarombo (silsilah) Raja Naipospos sekaligus untuk memilih atau membuat Verkessing Kepala Negeri di Huta Raja. Pada masa itu, dapat dikatakan bahwa orang tua dari marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun, yang berumur 70-90 tahun banyak untuk mengikuti kumpulan tersebut. Kerajinan para orang tua tersebut disebabkan oleh belum pernahnya pemerintah menyinggung tentang tarombo (silsilah) marga sebelumnya. Para orang tua dari lima marga Naipospos tersebut secara menyeluruh mengatakan bahwa putera Raja Naipospos adalah sebanyak 5 (lima) orang yang secara berurutan, yaitu: Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun. Kemudian Assistent Demang mengatakan bahwa sesuai tarombo (silsilah) di Sipoholon bahwa Raja Naipospos mempunyai 2 (dua) orang putera yang secara berurutan, yaitu: Toga Sipoholon dan Toga Marbun.

Seluruh para orang tua dari lima marga Naipospos pada kumpulan tersebut kontra (tidak setuju) dengan tarombo (silsilah) yang ditulis di Sipoholon. Demang pun menjawab bahwa dikemudian hari tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospo tersebut akan diperbaiki. Namun tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospos yang akan dicatat adalah sesuai yang ada di Sipoholon. Dengan demikian tarombo (silsilah) yang dicatat oleh Demang pada tahun 1921 tersebut adalah bahwa Raja Naipospos mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu: Toga Sipoholon dan Toga Marbun.

Pada tahun 1923 setelah selesainya penulisan tarombo (silsilah) tersebut, pemerintah kemudian meminta agar semua Kepala Negeri R.II yang masuk dalam wilayah Sipoholon dari marga Naipospos agar berkumpul. Controleur dan Demang yang hadir pada saat itu pun bertanya kembali tentang tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospos yang benar. Apakah yang tertulis di Sipoholon atau yang disebutkan di Huta Raja. Saya pun menjelaskan kisah Raja Naipospos dan keturunannya. Saya pun menambahkan bahwa apabila benar Toga Sipoholon yang menurunkan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, merupakan salah satu putera Raja Naipospos, tentu Sipoholon akan dijadikan sebagai marga terlebih dahulu. Tetapi karena hal tersebut adalah tidak benar, maka marga Sipoholon tidak ada.

Saya juga mengatakan bahwa oleh karena Marbun sebagai keturunan Naipospos dari isteri kedua kurang merasa cocok dengan keturunan Naipospos dari isteri pertama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) maka Marbun bersama dengan ibundanya dan seorang saudara perempuan seibunya pergi ke daerah Humbang. Kebetulan hanya Marbun dan seorang saudara perempuanlah (ito) keturunan Naipospos dari isteri kedua boru Pasaribu. Dan mungkin hal tersebut bisa menjadi suatu pelajaran bahwa seorang laki-laki yang mempunyai dua orang isteri atau lebih akan menimbulkan rasa kurang cocok antar anak masing-masing isteri.

Mengenai penjelasan tersebut, mereka yang pro atau mendukung Toga Sipoholon tidak dapat memberikan penjelasan banyak selain berpendapat bahwa daerah Sipoholon berasal dari nama sang nenek moyang Toga Sipoholon. Menjawab hal tersebut, saya pun menjawab bahwa seandainya hal tersebut benar maka daerah Huta Raja akan masuk daerah Sipoholon dengan penyebutan nama Sipoholon Huta Raja. Karena seluruh kisah antara keturunan Raja Naipospos dari isteri pertama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) dengan isteri kedua (Marbun) terjadi di Huta Raja dan bukan di Sipoholon. Mereka pun menyebut bahwa Huta Raja pun termasuk Sipoholon. Saya pun mengatakan, saat inilah bagi pemerintah bahwa Huta Raja termasuk Sipoholon. Bukan hanya itu, Pagar Batu, Rurajulu dan sebagainya termasuk Sipoholon saat ini. Karena yang sebenarnya Sipoholon hanyalah yang termasuk daerah Rura Silindung ini.

Mengenai hal tersebut, Demang mengaku bahwa penjelasan yang diberikan oleh Kepala Negeri Huta Raja (Haran Ompu Basar Solonggaron Sibagariang) adalah lebih jelas. Namun dikarenakan hanyalah saya seorang melawan lima tau tujuh orang yang pro, maka tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospos masih tetap sesuai dengan yang terdapat di Sipoholon (Toga Sipoholon dan Toga Marbun).

Apakah benar atau tidak, perintis berprasangka bahwa pencatatan tarombo (silsilah) tersebut bertujuan untuk penyusunan PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M. Hutagalung. Karena pada kata pengantar (Hata patujolo) tercantum Pangururan, Januari 1926. Tetapi itu adalah sebuah prasangka saja.

Apabila mengikuti prasangka perintis di atas, PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M. Hutagalung yang banyak terdapat di masyarakat sudah cetakan tahun 1991. Tentu dalam jangka waktu 65 tahun hingga Desember 2008 sekarang, maka tidak bisa dipungkiri bahwa sudah tentu pasti mempunyai perubahan disana-sini. Karena pada cetakan tahun 1991, disebutkan bahwa Raja Naipospos mempunyai dua orang putera yang secara berurutan, yaitu: Toga Marbun dan Toga Sipoholon. Hal ini tentu sudah berlawan (kontra) dengan tarombo (silsilah) yang dicatat di Sipoholon pada tahun 1921 dan 1923 yang menyebutkan bahwa Raja Naipospos mempunyai dua orang putera yang secara berurutan, yaitu: Toga Sipoholon dan Toga Marbun.

Memang untuk menemukan PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M. Hutagalung cetakan pertama tahun 1926 mungkin tidak akan dapat ditemukan lagi karena apabila mengikuti prasangka perintis, dikhawatirkan ada yang telah mengubah tarombo (silsilah) tersebut menjadi Toga Marbun dan Toga Sipoholon tanpa alasan yang jelas. Sehingga saat ini pun, antar marga Marbun sendiri ada yang menyebut bahwa Sibagariang sebagai putera sulung, ada pula berpendapat bahwa Sipoholon sebagai putera sulung, dan ada pula berpendapat bahwa Marbun sebagai putera sulung atau bungsu. Pendapat yang menyebutkan bahwa putera Raja Naipospos adalah sebanyak 2 (dua) orang, baik Toga Sipoholon dan Toga Marbun atau Toga Marbun dan Toga Sipoholon adalah salah. (sumber:http://www.naipospos.net/?p=42 ; http://dondaujung.wordpress.com/tarombo/)




No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...