Custom Search

Ikrar antara keturunan Martuasame dan keturunan Toga Marbun.

Konon dahulu kala diceritakan, keturunan DONDA HOPOL mau mengadakan pesta besar-besaran (ulaon horja), untuk itu mereka menyuruh pihak boru mengundang (manggokkon) saudara-saudaranya dari keturunan Naipospos.

Karena pada waktu itu komunikasi belum lancar, sarana dan prasarana transportasi juga hanya mengandalkan “hoda tunggangan”, maka pada acara “ulaon horja” tersebut saudara-saudaranya dari Bakkara yaitu keturunan Toga Marbun belum tiba pada hari yang telah direncanakan oleh keluarga Donda Hopol. Si Hutauruk, si Manungkalit dan Situmeang menganjurkan kepada keluarga abngnya agar acara “ulaon horja” ditunda pelaksanaannya sampai saudara mereka dari Bakkara tiba, namun keluarga Donda Hopol bersikukuh akan memulai acara. Acarapun diteruskan tanpa menunggu kedatangan saudaranya tersebut, jadi hanya keturunan Martuasame yang ada pada acara dimulai.

Namun pada hari “ulaon horja” akan berakhir, tibalah saudaranya dari Bakkara ( Lumbanbatu, Banjarnahor dan Lumban gaol ). Mereka yang baru daang beranggapan bahwa Donda Hobol bersengaja mengadakan pesta tanpa menunggu kedatangan mereka, karena “gokhon” yang mereka terima, “ulaon horja” dimulai pada hari saat mereka tiba sehingga mereka merasa datang tepat pada waktunya, namun Donda Hopol mengatakan bahwa acara dilaksanakan sesuai dengan rencana.

Kekecewaan keturunan Toga Marbun didukung oleh ketiga saudaranya yang lain keturunan Martuasame.

Dibarengi kekecewaan tersebut, merekapun menari (manortor) mengelilingi “BOROTAN” yang ada di tengah-tengah halaman rumah. Mereka menari sebanyak 99 kali sambil berdoa (martonggo) kepada Yang maha mencipta, Debata Natolu Mulajadi Nabolon. Dalam “tonggo” mereka, terbesitlah kata-kata : “Nunga ditostos rohani dahahang, namansuaehon mudar ni damang, parhitean ni pasu-pasu Debata Natolu Mulajadi Nabolon, mago silaosi tona, ripur silaosi padan marhite tonggo nami nahosa-hosa paadu-adu gokhon ni dahahang. Sai unang lobi sai unang hurang pomparan ni dahahang sian liat-liat tor-tor nasuda gogo manjalahi ulaon horja ni dahahang, manangi marbinege ma Mulajadi Nabolon, asa disi sirungguk disi sitata, ia disi hundul disi do Debata, asa unang ma hami mahilolong na so jadi malu tondi…..”

Setelah itu merekapun nenancapkan pagar bambu sebanyak 99 buah.

( Konon sejak saat itu, keturunan keturunan Donda Hopol (Sibagariang) tidak pernah lebih dari 99 kepala keluarga ).

Dengan adanya kejadian tersebut, keturunan Martuasame yang lain ( Hutauruk, Simanungkalit dan Situmeang) menjalin persaudaraan dengan keturunan Toga Marbun.

Adapun poin ikrar mereka adalah :

1. Antara keturunan Lumbanbatu dengan keturunan Hutauruk tidak boleh saling kawin.

2. Antara keturunan Banjarnahor dengan keturunan Simanungkalit tidak boleh saling kawin.

3. Antara keturunan Lumbangaol dengan keturunan Situmeang tidak boleh saling kawin.

4. Untuk masing-masing yang menjalin ikrar adalah “sisada lulu anak sisada lulu boru” dan kedudukan dalam partubu adalah : siapa yang menjadi tuan rumah maka dialah yang menjadi siabangan sedangkan yang datang sebagai tamu adalah si adekan.

Seiring perkembangan dan makin terjalinnya komunikasi, terjadi juga saling memaafkan diantara keturunan Toga Marbun dengan Donda Hobol, sehingga dalam ikrarpun keturunan Donda Hobol (Sibagariang) sudah diikutkan bergabung dengan Hutauruk berikrar dengan Lumbanbatu.

Perlu juga diketahui bahwa diantara keturunan Toga Marbun maupun keturunan Martuasame (Ompu Sipoholon) sudah saling kawin kecuali antara pihak-pihak seperti telah dijelaskan di atas.

Kendati pernah terjadi perselisihan diantara keturunan Naipospos, namun sebagai ucapan syukur mereka selalu mengadakan pertemuan/berkumpul sekali dalam 50 Tahun yang diikuti dari seluruh perutusan tiap-tiap marga keturunan Naipospos.



MYCULTURED




No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...