Custom Search

Studi kasus Rambe Anak Raja di Sijarango

MYCULTURED

Simamora Debataraja di Sijarango, merupakan satu keturunan dari Oppu Somat Rambe, Cucu dari Tuan Sumrham, anak kedua dari Raja Mole-ole Rambe Anak Raja, Cicit dari Tuan Sumerham yang pada mulanya menempati tiga desa yang saling berdekatan yaitu di Huta Ginjang,*) anak pertama, bernama Op. Jolo; di Huta Batu, anak kedua bernama Op. Tating; di Huta Nusa, anak ketiga bernama Op. Takkang. Akibat perkembangan jumlah keturunan, keturunan dari Huta Ginjang membuka perkampungan lagi secara berturut-turut, Huta Imbaru, Huta Gugung, Huta Solok, Huta Sihombang dan Huta Siniang. Sedangkan kedua Huta lainya, tidak begitu berkambang, hingga sekarang.

Pada mulanya, semua sehati sepikiran dan kompak sebagai satu keturunan, hal ini kelihatan dalam pelaksanaan pesta adat, mereka betul-betul memegang prinsip “sisada anak sisada boru”.**⁾ Tatanan kekompakan ini menjadi cacat pada era sekarang, diantara kakak adek terjadi blog, bukan blok “pro” dan “kontra” melainkan suatu permusuhan seperti panas didalam sekam (silent conflict).

Mereka menjadi saling menjaga, tidak ada keterbukaan yang berani menampakkan jati dirinya. Hal itu kelihatan sekali di dalam pesta adat perkawinan. Apabila Pesta tersebu mengatas namakan Rambe, maka yang tidak mengaku Rambe akan meninggalkan tempat pesta, walaupun masih satu oppung dan ikut sebagai pengundang.
Rambe yang berada di Huta Ginjang dan yang berasal dari sana, tetap konsisten mengakui marga Rambe, walaupun sehariannya memakai Simamora atau Debataraja. Di Huta Batu, pada mulanya semua tidak mengakui bahwa mereka marga Rambe. Tetapi belakangan ini, ada diantara mereka yang mengelitik hati mereka, bahwa keturunan opung tertua, yaitu yang tinggal di Huta Ginjang, tidak ada seorang pun yang tidak mengakui Rambe, sedangkan mereka yang tinggal di Huta Batu, tidak ada yang mengakui dirinya sebagai Marga Rambe. Tentu hal ini membuat mereka selalu bertanya kenapa demikian? Berangkat dari pertanyaan itu, mereka mencari kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Setelah beberapa orang itu mendapat informasi dan yang layak dijadikan beberapa orang itu menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan di hati dan pikirannya, lalu beberapa orang itu menyatakan diri adalah Rambe.
__________________________


*⁾. Huta adalah dalam Bahasa Batak, artinya Desa/Kampung
**⁾. Cerita orang para orang tua dahulu, seorang anak, anak semua orang tua,
seorang putri, putri semua Orang tua


Kita mengetahui, bahwa suatu puak atau suku yang menganut garis keturunan ayah, maka anak keturunannya akan mengikut ayah, yang ditandai dengan pemakaian marga yang sama. Di desa Si Jarango, sekarang ini semuanya memakai marga Simamora atau Debataraja. Masalahnya sebagian besar mengakui, kalau mereka keturunan Tuan Sumerham yang memang marga Rambe sebagian lagi tidak mengakui marga Rambe. Pada hal suku mereka mengikuti garis keturunan ayah, sehingga, terjadi kesalahpahaman seperti panas di dalam sekam. Tentu ada akar persoalan yang tidak mau saling terbuka dan saling tukar pengetahuan tetantang siapa Tuan Sumerham, Siapa Oppu Somat dan Siapa Rambe?.
Akar Persoalan
Konon, para orang tua yang tinggal di Sijarango, yang terdiri dari bebarapa huta, semuanya memakai marga Rambe. Dan satu marga yang sudah sejak Oppu Somat bermukim di sana mempunyai mantu Marga Manik sekaligus sebagai panglima harajaon. Dtulis pada nisannya (Oppu Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe) tertulis di pekuburan keluarga Manik di Sijarango. Bukan br. Simamora atau br. Debataraja. Seperti yang dipakai orang tua yang ada sekarang.
Dokumen Gereja, semuanya memakai marga Rambe kecuali marga boru (marga yang diberi Rambe istri). Sejak kapan persoalan itu dan apa penyebabnya?
1. Dimulai dari datangnya seorang/keluarga duda dari Dolok Sanggul ke Sijarango bernama Meman Simamora Debataraja, keturunan dari Op. Manurbing Simamora Debataraja. Dia sangat familier terhadap penduduk setempat sehingga dianggap Saudara bahkan pernah memakai marga Rambe ditandai dengan Besloit Kepala Kampung Sijarango.
Di Huta Batu, hidup seorang janda bekas istri yang ditinggal mati dari seorang oppung dihuta tersebut (belakangan ini penulis mendapat informasi, bahwa oppung boru itu dari Sibongkare, sudah tentu boru Marbun Tetapi marbunnya tidak jelas). Oppung boru ini merupakan para normal, tempat bertanya “Raja Pandua” yang berkuasa di si Jarango. Oleh Meman Simamora Debataraja mengawini oppung boru, yang sudah janda tadi, dan dibawa ke kampungnya Dolok Sanggul.
Suatu saat, terjadi suatu bala di Sijarango, lalu Raja Pandua kebingungan karena tidak ada lagi tempat bertanya. Maka Raja Pandua memerintahkan petinggi harajaon untuk menjemput Oppung boru tadi dari Dolok Sanggul. Penjemputan dapat dilakukan karena menurut hukum adat, bahwa oppung boru tersebut adalah merupakan kelompok keluarga Rambe (paniaran) sebab sudah punya anak dari oppung doli. Perkawinan Meman dengan oppung boru dilakukan sebagai perkawinan adat Batak “dipareak” (seorang janda kawin dengan saudara suaminya almarhum) atau turun ranjang. Perkawinan seperti itu, tidak melalui proses adat yang panjang. Cukup semua saudara mengetahuinya. Maka penjemputan itupun sah dan tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi Meman Simamora Debataraja menjawab penjemputan itu;

“Nunga holong rohakku jala dang olo be au sirang sian ibana. Molo naeng boanon mu mulak tu Sijarango, ikkon dohot do au tu Sijarango”

Bahwa Meman sudah mencintainya, dan tidak akan mau berpisah dari oppung boru (marbun) kalau mau dibawa pulang ke Sijarango, saya harus ikut. Karena ucapan Meman demikian kuat dan teguhnya, akhirnya Meman Simamora Debataraja ikut dibawa ke Sijarango dan menghadap Raja. Dihadapan Raja Meman berjanji, bahwa dia akan setia kepada Rambe, mengikuti adat Rambe, dan “saulaon” dengan Rambe.
Keputusan Raja, bahwa niatnya sudah baik. Untuk tempat dan lahan pertanian mereka ditunjuk oleh Raja dan diberi nama “Tor Nauli”, dan Meman diberi nama Op. ni Mangulahi karena mengulang kedatanganya ke Sijarango. Nama tempat mereka, merupakan peristiwa yang saling mengisi dan tidak akan terdapat perlakuan “isme” dan niat yang baik akan berbuah kebaikan bagi masyarakat Sijarango. “Tor Nauli” merupakan nama tempat bersyarat bagi keluarga Meman. Berasal dari kata “Pintor Uli” (keteguhan Meman untuk sama sama membangun Sijarango, tidak perlu lagi di persulit karena bertujuan baik untuk marga Rambe dan, “asa ittor uli, di san ma hamu” dan tempat diberi nama TORNAULI. Kehidupan keluarga ini dapat dikatakan eksklusip dibanding masyarakat Rambe, karena kemajuan cara berfikir dan pengetahuan yang sudah lebih dahulu maju, sedangkan Rambe yang ada di Sijarango selama ini terisolir dan terpencil. Kedatangan Op. ni Mangulahi (Meman), sangat membuka dan menyadarkan pikiran Rambe Sijarango tentang kemajuan. Op. ni Mangulahi yang begitu eksklusif, ditandai dengan selalu naik kuda kemanapun ia pergi. Pada waktu itu, kuda merupakan kenderaan utama para orang kaya dan tuan.
Apa yang dijanjikan Op. ni Mangulahi memang bukan lah janji muluk-muluk. Waktu pendirian Tugu Tuan Sumerham di Pakkat, salah seorang anak dari Meman, (Op. ni Mangulahi) bernama Halomoan, menjadi sekretaris pembangunan Tugu, akan tetapi mati secara misterius di Laut menuju Manduamas.
Karena janji dari Op. ni Mangulahi yang menyatakan bahwa dia dengan Rambe Sijarango adalah satu keluarga, sehingga Rambe Sijarango memperkenalkan diri kemudian menjadi Simamora utamanya Debataraja, karena Rambe Sijarango adalah Rambe Anak Raja (kesesuaian nama).
1. Karena perobahan perkenalan diri bagi Rambe SiJarango, keturunan dari Op.
Tating, Huta Batu menjadi lebih dekat dengan Op. ni Mangulahi Simamora
Debataraja, karena oppung boru (br. Marbun), dan anak yang dibawanya, sehingga
ada kekeliruan dalam mengurutan Silsilah, yang bermuara kepada Meman.
2. Setelah Op. ni Mangulahi, datang lagi gelombang ke dua dari marga Op. ni
Mangulahi
datang ke Sijarango dengan janji yang teguh sebagaimana Op ni Mangulahi, Maka
Raja memberikan tempat bagi mereka “Janji Matogu” juga nama kampung bersyarat,
agar jangan lupa janji, bahwa mereka akan memperkuat adat istiadat Rambe, serta
menjadi keluarga “saparadatan”
3. Beberapa orang marga Simamora Debataraja, datang sebagai guru di Sijarango,
sedangkan marga Rambe masih buta huruf atau tidak sekolah. Dalam pendaftaran anak
sekolah, guru tersebut menanyakan nama dan marga Rambe mana? Jawab si anak, Rambe
Anak Raja. Maka guru tersebut menuliskan Debataraja bukan Anak Raja.

“Ini merupakan kesaksian beberapa orang, yang berasal dari sijarango, dan sampai sekarang masih ada ditengah-tengah kumpulan marga Rambe Jakarta”
Hal demikian berjalan tanpa merasakan suatu gangguan kekeluargaan di marga Rambe. Sejak generasi ke-8 hingga sekarang pada generasi ke-14/15 bahkan sekarang sudah mengarah ke-generasi 16, Persoalan satu garis keturunan berbeda marga, sehingga terjadi “silent conflik”. Sepanjang perjalanan hidup op. Mangulahi, yang dimulai dari generasi ke-8 keturunan dari Tuan Sumerham, Op. Mangulahi sempat mencalonkan diri sebagai kepala Kampung SiJarango. Saat itu ada aturan, yang berhak mencalonkan diri adalah penduduk setempat, yang ditandai oleh marga yang punya kampung. Maka Op. Mangulahi, menyatakan dirinya sebagai marga Rambe yang disetujui oleh Sesepuh Rambe dengan rekomendasi dari orang tua yang tinggal di Sijarango, dan menang dalam pemilihan kepala kampung. Maka jadilah nama dari Op. Mangulahi menjadi Kappung Meman yang berbisloit Rambe. Kekuatan mereka sebagai pendatang ke Sijarango semakin kuat akibat Kappung Meman.
"Silent conflik" ini, pernah penulis alami di kampung waktu, sepeninggalnya Ibu tercinta ”op. Melda boru”, pada waktu pembukaan acara adat, biasanya ada pembacaan riwayat hidup sekaligus pembacaan silsilah. Setelah saya usulkan untuk pembacaan silsilah tersebut kepada Raja-raja, tujuannya untuk memenuhi ketentuan adat yang penulis pahami, apabila seorang orangtua meninggal saurmatua dan mungkin orang yang terakhir diantara orang tua kakak beradik, serta untuk memberikan kejelasan bagi anak-anaknya orang tua kakak beradik yang se-generasi. Namun jawaban Raja pada saat itu sangat mengagetkan penulis, bahwa:

“pembacaan itu tidak usah karena menjaga hubungan baik Rambe selama ini dengan marga Simamora Debataraja yang ada di kampong ini”.

Bayangkan Seorang Raja, walaupun tidak berkuasa sepenuhnya lagi dengan wilayah kerajaan namun sesungguhnya para pendatang, harus memaklumi siapa mereka sebagai pendatang dan siapa yang punya huta. Seharusnya tidak perlu sebagai ganjalan kerena keberadaan mereka.
Sejarah ini merupakan kumpulan informasi dari sekian banyak orang tua di Sijarango. Ada kesan, bahwa informasi yang ingin saya dapatkan dari mereka merupakan sebuah informasi rahasia yang sangat tertutup rapat. Akibatnya, mereka tidak berani berterus terang di muka umum untuk menyatakan marga Rambe. Penulis coba untuk mengorek akar pemasalahan, tetapi tetap tertutup walaupun ada mimik keinginan untuk membeberkan, namun tidak keluar juga.
Penulis berkesimpulan, dari informasi yang di dapatkan, bahwa keturunan dari oppung dari Huta Batu, yang dibawa jandanya oppung dan dibesarkan oleh Kappung Meman adalah sumber persoalan, solah-olah tabu untuk dijelaskan, dan sampai sekarang, pengakuan mereka, bahwa mereka adalah keturunan op. Somahap yang direkayasa menjadi op. Somat anak dari Guru Manurbing. sampai sekarang tetap menjadi persoalan. Mereka termasuk gencar mempengaruhi kahangginya yang berasal dari Huta Batu. Tetapi kemudian ada juga yang terpengaruh dari Huta Nusa.
Sumber persoalan yang lain, Pada saat Keturunan Tuan Sumerham Rambe martahi untuk mendirikan Tugu Tuan Sumerham, terjadi pemaksaan untuk memberikan urunan biaya pembangunan Tugu, sedangkan mereka sudah ada keraguan siapa sesungguhnya mereka. Dengan pemaksaan itu, menjadi satu kesempatan bagi yang ingin tetap sebagai garis keturunan Kappung Meman kelompok tersebut mengadakan sumpah dengan media hati binatang sebelehan. Bersumpah “Tidak akan mengakui marga Rambe”
Yang tidak dapat dimengerti oleh penulis, pengakuan mereka bahwa;
1. Mengakui: yang membuka Huta Ginjang, Huta Batu dan Huta Nusa adalah tiga kakak
beradek, satu ibu satu bapak, dimana yang paling tua adalah yang membuka Huta
Ginjang, anak kedua membuka Huta Batu, dan yang paling bontot membuka Huta Nusa
2. Mengakui: bahwa orangtua dari ketiga oppung yang membuka ketiga Huta tersebut
adalah Op. Somat, yang kemudian mereka merekayasa seperti berikut,

“nama sesungguhnya op. Somat adalah Op. Somahap berasal dari kata somahap marjuji (tidak pernah puas main judi) sehingga selalu melanglang buanan mencari lawan tanding . Dan Oppu Somahap betul merupakan kakek dari Kappung Meman, keturunan dari Op. Manurbing”.

3. Mengakui: Op. Somat yang menurut mereka Op. Somahap dikubur di Rabba Pattil.

Penulis, secara diam-diam dan rahasia, Penulis mencari informasi, menanyakan kepada orang yang mengetahui tentang Guru Manurbing orang itu berasal dari Dolok Sanggul, Simamora Nahum Dimana. Bahwa Benar ada Oppu Somahap keturunan dari Guru Manurbing. Op. Somahap disebut karena tidak pernah puas berjudi. Maka dia melanglang buana untuk bertanding judi. Informasi terakhir yang diketahui orang yang memberi penjelasan ini, bahwa oppu Somahap meninggal di Sidikalang

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka apa yang di rekayasa oleh keturunan Op. Tating dari Huta Batu yang menyatakan bahwa yang di kubur di Rabba Pattil adalah Oppu Somahap, tidak benar. Maka semakin memastikan rekayasa terhadap Oppu Somat menjadi Oppu Somahap dan tidak ada hubungan kedua orang tersebut.
Walaupun dalam rekayasa nama berhasil dalam tanda petik, untuk keturunan Oppu Tating, tetapi sebagai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat menunjukkan Silsilah Guru Manurbing kepada ketiga Oppu yang ada di Sijarango.
Kelalaian Berfikir Pendahulu: Telah terjadi kelalaian berfikir pada sebagian besar keturunan Rambe Anak Raja yang tinggal di sijarango. Kelalaian berfikir dimaksud adalah pendahulu menutupi suatu persoalan yang berdampak pada masa sekarang, lalai dalam memprediksi apa akibat dari semua ini pada generasi mendatang. Itu terjadi sejak dahulu.
Kelalaian Brfikir Generasi Sekarang: tidak mampu menganalisa dengan logika berfikirnya hasil rekaman pernyataan Kappung Meman menjelang akhir hidupnya seperti petikan transkrip dibawah ini.

“Hamu pinomparhu, mulak ma hamu muse tu dolok Simamora Nahum Dimana. Ro pe hita tu Rambe on, na mambuat harajaon do”

Dari pernyataan di atas, semakin memperjelas bahwa Kappung Meman adalah orang pendatang dari luar atau pendatang ke Sijarango yang sesungguhnya tidak dapat di samakan dengan Rambe Anak Raja atau disamakan dengan leluhur. Walaupun selama ini kompak dalam pelaksanaan kegiatan adat dan sosial lainnya, hanya karena janji yang sudah di ikrarkan Kappung Meman secara pribadi, maka dia berani menyatakan pernyataannya sebelum meninggal. Artinya,
1. Kappung Meman mencabut janjinya dan tidak akan berdampak kepada siapapun,
termasuk kepada anak keturunanya, yang menetap tinggal di Sijarango.
2. Walaupun pada mulanya Kappung Meman ikut membesarkan anak tirinya dari suami
pertama istrinya, karena janjinya kepada raja, bahwa dia sama dengan suami
pertama istrinya mengikuti aturan dan adat Rambe juga. Mengaku menjadi rambe.
Dengan pernyataan akhir hidupnya, berarti apa yang dilakukan selama ini, kembali
kepada habitat semula. Anak darah dagingnya kembali ke Simamora Debataraja Nahum
Dimana. Seharusnya anak tirinya juga harus kembali ke Rambe.
Kelalaian Berfikir, juga terjadi pada keluarga Kappung Meman, baik pada kappung Meman sendiri, anak kandungnya apalagi anak tirinya yang tidak pernah menjelaskan kepada Rambe Anak Raja di Sijarango, duduk persoalan keberadaan mereka apabila diantara Rambe Anak Raja keliru dalam memakai marganya. Selaku orang yang mengangkat janji dihadapan penduduk setempat melalu Raja, tentunya tidak akan merusak tatanan yang dia dapatkan solid di Sijarango, seolah-olah penduduk setempatlah yang keliru dengan Rambenya, tetapi tidak untuk Kappung Meman yang berbisloit marga Rambe. Walaupun semua mengetahui bahwa Kappung Meman bukanlah Rambe yang sebenarnya, tetapi mereka tidak tahu proses keberadaan Kappung Meman di Sijarango. Inilah yang dirahasiakan oleh para pendahulu Rambe Anak Raja yang ada di Sijarango.
Tulisan ini merupakan potongan-potong informasi, dan setiap potong informasi saya dapatkan dari orangtua yang berbeda-beda. Setiap potong informasi, mempunyai keterkaitang dengan potongan informasi lainya, sehingga dapat tersusun sedemikian.
Pengakuan Sukiman Simamora Debataraja (53 thn) di Jakarta, pahoppu dari Kappung Meman, yang mengatakan di depan mereka yang tidak mengaku Rambe atas suatu perdebatan penulis dengan yang berasal dari Sijarango dengan mereka. Materi yang kami perdebatkan adalah sebagaimana isi tulisan ini. Pengakuan tersebut disampaikan oleh Marali Rambe Anak Raja, Parung waktu sama-sama berkumpul dengan mereka mengatakan;

“Dia (penulis) yang benar. Kalian (mereka yang tidak mengaku Rambe) yang salah”.


Pengakuan boru Rambe (65 thn), Saudara perempuan tertua dari Manaek Rambe Anak Raja (Alm) bekas pegawai BTN yang bernama Ny. Gusta Nainggolan br. Rambe Anak Raja Dengan ceritra materi yang sama, mengatakan;

“Saya menjadi mengerti dengan potongan sejarah yang pernah saya dengar waktu di Sijarango. Nama Kappung Meman dengan glr. Op. ni Mangulahi adalah benar dan potongan-potongan cerita yang sudah tersusun ini sangat rahasia dulu. Dari mana uda tau semuanya ini ? sedangkan saya sudah hampir lupa”

Kesimpulan
Rambe di Sijarango memakai marga Simamora atau Debataraja, tidak perlu dipersoalkan asal mereka konsisten, bahwa mereka keturunan Tuan Sumerham bermarga Rambe. Karena sesuatu kebiasaan yang sudah melekat sangat sulit untuk merobahnya.

Kalaupun mereka mau merobah menjadi Rambe, itu hanya dalam panggilan sehari hari, namun kalau harus merobah sampai ke surat menyurat kenegaraan, suatu hal yang sangat sulit.

Bagi mereka yang sudah terlajur dalam surat menyurat, tetapi ingin dikenal orang marga Rambe. Mulailah mengajak istri, agar selalu memanggil anda Pak Rambe, kapanpun dan di manapun. Orang disekitar anda akan ikut memanggil anda Rambe, paling tidak mengetahui anda bermarga Rambe.

(Sumber : Beresman Rambe/http://rambegnr.blogspot.com/2010/04/studi-kasus-rambe-di-sijarango.html.)



No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...