Custom Search

Sumita Tobing Ngotot Menolak Dieksekusi

Mantan Direktur Utama Perusahaan Jawatan TVRI, Sumita Tobing, ngotot menyatakan menolak memenuhi panggilan ataupun eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait degan kasus korupsinya, meski sudah dipanggil dua kali. Adapun penolakan tersebut masih terkait dengan Mahkamah Agung yang memberikan hukuman tahanan selama 1,5 tahun dan denda Rp 250 juta subsidair 6 bulan kurungan kepada Sumita dengan nomor registrasi yang salah.

"Klien kami tidak akan mengakui putusan Mahkamah Agung karena nomor registrasi perkara yang diputuskan Majelis Hakim Kasasi tahun lalu berbeda dengan nomor registrasi yang asli," ujar pengacara Sumita, Erick S. Paat, ketika ditemui di Kejaksaan Agung, Senin, 28 Mei 2012.




Nomor registrasi Sumita Tobing yang sesungguhnya adalah 857 K/PID. SUS/2009. Nomor tersebut diberikan oleh MA pada tanggal 20 Mei 2009 ketika Sumita didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Namun, saat Sumita dinyatakan bersalah oleh MA pada tahun 2011, MA memutuskan berdasarkan nomor registrasi perkara yang berbeda. Hakim ketua Majelis Kasasi MA, Artidjo Alkostar, memutuskan hukuman Sumita berdasarkan nomor registrasi 856 K/PID. SUS/2009. Kubu Sumita kemudian mempermasalahkan hal tersebut.

Erick mengatakan hari ini ia datang ke Kejaksaan Agung untuk kembali menegaskan penolakan Sumita. Ia menyatakan selama putusan MA berdasarkan nomor registrasi yang salah tersebut digunakan, kliennya tidak akan memenuhi panggilan ataupun eksekusi Kejari Jakarta Pusat.

Menurut Erick, nomor registrasi perkara adalah nomor seumur hidup. Jadi, tidak bisa MA ataupun kejaksaan seenaknya mengubah nomor registrasi serta membuat putusan kasasi berdasarkan nomor registrasi yang telah diubah itu.

"Di satu sisi, perkara perbedaan nomor registrasi ini menunjukkan betapa buruknya kinerja MA," ujar Erick yang juga mengatakan kalau panggilan dari Kejari Jakarta Pusat tidak sopan karena hanya dilemparkan ke rumah Sumita.

Selain karena perkara nomor registrasi yang berbeda, Erick mengatakan kliennya juga menolak eksekusi karena MA menggunakan SK Depkeu 501/KMK.01/UP.11/2001 sebagai bukti sekaligus pertimbangan dalam putusannya. Padahal, menurut Sumita, SK tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh Departemen Keuangan sehingga bisa dikatakan fiktif.

Erick terakhir menyatakan kalau Kejari Jakarta Pusat tetap memaksakan eksekusi terhadap kliennya, berarti Kejari telah melakukan pelanggaran terhadap Undang Undang Kejaksaan No. 16 Tahun 2004. Adapun UU itu berdasarkan pada jaminan perlindungan hukum, tegaknya supremasi hukum, dan penegakan hak asasi manusia.

"Perkara ini secara keseluruhan melanggar Pasal 250 serta 197 ayat 1 huruf d dan e KUHAP. Jadi, putusan MA berdasarkan nomor perkara 856 non executable."

Sebelumnya, Sumita dinyatakan terbukti telah melakukan korupsi. Adapun ia didakwa melakukan korupsi berwujud penyalahgunaan wewenang untuk menghadirkan barang.

Sumita sempat dinyatakan bebas murni setelah MA menolak kasasi Jaksa pada 28 Agustus 2009 yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakpus. Namun, dua tahun kemudian, mendadak Majelis Kasasi MA mengeluarkan putusan yang mengatakan Sumita dihukum 1,5 tahun dengan denda pidana Rp 250 juta subsider kurungan 6 bulan.

TEMPO.CO


No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...