Custom Search

Media (Harian SIB) dan Pengaruhnya

Tidak terasa kalau ternyata Harian SIB telah berusia 40 tahun. Untuk ukuran sebuah media lokal, itu jelas sebuah prestasi besar. Beberapa media yang hidup dan didirikan dalam beberapa waktu ini, hidup dan besar dengan susah payah. Bahkan beberapa di antaranya kemudian kolaps, tidak terdengar suaranya. Sebaliknya, Harian SIB memapankan diri di dalam berbagai perubahan yang ada.

Perubahan yang ada memang begitu kencang. Kini media koran cetak harus berhadapan dengan pemberitaan televisi yang semakin up to date dan bersifat investigasi dan dikemas dalam breaking news yang menarik. Lihat saja bagaimana rapat-rapat dengar pendapat di DPR disiarkan langsung kepada pemirsanya oleh televisi, lebih cepat dan lebih hidup daripada yang besok harinya dituliskan oleh media cetak.

Tantangan utama dari “pesaing” tersebut membuat banyak media cetak kemudian kehilangan pangsa pasar. Harian SIB sebagai salah satu media cetak pasti juga terpengaruh oplahnya. Belum lagi dengan ekspansi pasar yang dilakukan oleh media cetak lokal di Sumatera Utara. Jelas saja umur yang 40 tahun tersebut juga diperoleh dengan kompetisi yang sangat ketat.

Namun salah satu kemenangan koran-koran besar adalah pangsa pasar yang sudah pasti. Sebuah buku mengenai jurnalisme media diberikan judul oleh Dennis W Jhonson penulisnya: “No Place for Amateurs” (London, 2001). Isi buku itu menguak tabir bahwa media-media besar benar-benar memainkan peran signifikan terhadap isu-isu politik, sosial dan ekonomi karena telah memiliki kelompok pembaca yang sudah tetap.
Adanya kelompok pembaca fanatik itu menguntungkan koran-koran besar. Para pembaca umumnya memiliki kultur yang belum selektif dan kritis. Mereka umumnya hanya “membaca”, bukan mencari sesuatu yang mereka butuhkan.

Pertanyaan berikutnya adalah, sejauhmana Harian SIB memainkan diri sebagai koran yang—meminjam istilah buku tadi—bukan amatir? Penulis sebagai peneliti tidak punya data meski suatu saat nanti punya kesempatan untuk itu. Tetapi kalau melihat bagaimana iklan ucapan selamat disampaikan kepada Harian SIB, jelas kita punya sedikit gambaran. Mereka yang mengirimkan ucapan selamat Ulang Tahun itu mewakili kelompok birokrasi lokal, pengusaha, politisi, serta kelompok sosial. Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa jikapun kelompok-kelompok tersebut tidak mencerna dan melalap semua apa yang dituliskan oleh Harian SIB, setidaknya mereka mengetahui dan menginginkan sebuah posisi tertentu yang ditawarkan oleh Harian SIB.

Tawaran
Apa yang ditawarkan oleh Harian SIB kepada kelompok-kelompok tadi? Atau setidaknya, bagaimana sebuah media memberikan pengaruh kepada kelompok-kelompok tadi?
Sebuah buku lain yang menarik ditulis oleh Kathleen Hall Jamieson dan Paul Waldman, berjudul The Press Effect (Oxford, 2003). Di dalamnya dijelaskan bagaimana sebuah media memberikan pengaruh tadi. Menurut mereka, sebuah media bukan hanya sebuah koran belaka, tetapi pertama-tama sebagai pembuat cerita. Di dalam konteks Harian SIB, mereka yang menjadi kelompok-kelompok pembaca dan pengguna Harian SIB menyadari bahwa kisah mereka adalah kisah yang bisa diceritakan oleh sebuah media. Karena itulah mereka kemudian amat bergantung pada media (Harian SIB).

Pemberitaan mengenai perkembangan pembangunan di daerah menyebabkan banyak Kepala Daerah menjalin hubungan baik dengan media ini. Pemberitaan mengenai aktifitas politik menyebabkan harian ini pun dicari oleh mereka yang memapankan kedudukannya di jalur ini. Demikian seterusnya. Efek media sebagai penutur aktifitas membuat kelompok-kelompok tersebut tetap berafiliasi dengan Harian SIB.

Efek media yang lain adalah kekuatan psikologisnya. Sebuah berita mengenai penyimpangan anggaran atau kegagalan program pemerintah, jelas saja akan membuat pelakunya ketar-ketir kalau hal itu diberitakan oleh media. Secara nasional saja misalnya, sosok-sosok yang namanya masuk ke dalam berita media, segera saja bisa menjadi berita, dan akan menjadi sosok yang buruk kalau media mengupas tuntas kebobrokan yang ada.

Jadi, media bisa membuat karir, pekerjaan, bahkan keluarga dari konteks berita tersebut menjadi terpuruk. Karena itulah maka media menjadi sebuah alat memberikan kekuatan shock-therapy tertentu kepada kalangan-kalangan yang dianggap tidak melakukan sesuatu yang benar dan baik. Harian SIB pernah memberitakan misalnya bagaimana anggaran kesehatan di sebuah instansi ternyata kebanyakan hanya diisi oleh biaya perjalanan. Sementara anggaran untuk dibelanjakan untuk kepentingan masyarakat, hampir tidak ada. Efek pemberitaan tersebut menyebabkan stakeholder-nya segera mengubah sikap dan kemudian di kemudian hari sudah lebih berhati-hati.
Media ini juga memberitakan berbagai potensi korupsi yang terjadi di berbagai daerah di Sumatera Utara.

Tanpa disadari, mereka yang membaca hal tersebut mengalami sebuah “shock therapy”, sehingga memberikan efek psikologis tercegahnya kejahatan di masa depan. Inilah yang disebut sebagai “amateur psychologist”, karena media meski bukan pakar psikologis terkemuka, mampu menciptakan dampak psikologis yang luar biasa.
Peran media juga penting untuk meramal masa depan. Penulis buku tersebut menceritakan bagaimana media menghasilkan prediksi-prediksi mengenai momentum politik tertentu yang terjadi. Menjelang Pilkada Kota Medan, Harian SIB memberitakan beberapa prediksi terhadap kandidat tertentu. Harian ini mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat “masyarakat antusias”, “masyarakat memadati”, “ribuan massa”, dan lain sebagainya. Kalimat-kalimat tersebut menempatkan Harian SIB mampu memprediksi kemenangan kandidat tertentu, tanpa harus menyelenggarakan pooling sebagaimana kini marak dilakukan oleh media.

Masih ada lagi beberapa penjelasan penulisnya mengenai peran media terhadap kelompok-kelompok tertentu. Penulis tidak bisa menjelaskan semuanya. Tetapi bahwa Harian SIB telah melakukan hal-hal demikian, tentunya harus didukung oleh sebuah rencana strategis untuk terus menerus memapankannya.

Inovasi
Namun, meski telah memiliki pembaca fanatik, sebuah media tetap saja harus terus menerus melakukan inovasi. Struktur kelompok populasi yang berubah adalah salah satu persoalan besar. Benar bahwa di masa lalu Harian SIB bisa bertahan karena mengandalkan pembaca-pembaca dari kelompok usia menengah ke atas. Namun kini semua media kini menghadapi kelompok masyarakat muda yang tidak terlalu tertarik dengan media. Mereka adalah kelompok usia muda yang kini lebih on-line dan kerap disebut sebagai generasi posmo. Tipikalnya serupa: pembosan, hura-hura, ingin mencoba, dan kurang gemar membaca.

Dilihat dari strukturnya, hadirnya generasi ini menyebabkan booming sifat pembaca pada kelompok usia menengah ke atas bisa sangat berbeda. Dan karena itu, kalau melihat jangka waktu hadirnya kelompok usia muda tadi, sekitar 5-10 tahun mendatang, tanpa ansitipasi, akan terjadi penurunan drastis dari oplah media-media di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara. Karena itu, mau tidak mau, media pun harus melakukan berbagai kreativitas.

Mari kita lihat apa yang bisa dipelajari dari media lain, semisal harian nasional Kompas. Untuk mendorong minat baca kelompok muda, Kompas mengintrodusir hal-hal yang memberitakan tentang mereka. Kompas melakukannya dengan membuka rubrik Muda berisi beberapa halaman. Kompas juga mendorong peran perempuan untuk membaca karena kelompok ini sering kurang terpapar media. Kompas melakukannya dengan memberitakan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan perempuan dan tulisan tentang gender. Selain itu, untuk memperluas pangsa pasar, Kompas melakukan aktifitas atau pemberitaan interaktif dengan pembacanya. Harian Kompas melakukannya dengan mengijinkan pembaca mengirimkan pertanyaan-pertanyaan kepada tokoh-tokoh yang dipilih oleh Kompas.

Belajar dari apa yang dilakukan oleh media lain, jelas bahwa masih banyak cara lain untuk tetap mempertahankan diri dan tetap langgeng di usia yang sudah tidak lagi muda. Harian SIB bisa melakukannya karena potensi SDM yang sudah terlatih untuk melakukan tugas jurnalistik.
Harus diakui bahwa selama ini sebuah media banyak yang didirikan tanpa melakukan perubahan dan inovasi. Media besar dan mapan seperti Harian SIB harusnya jangan sampai tergerus oleh keterlambatan menciptakan penyesuaian ini. Ketika waktu berlalu, struktur pembaca pun berubah, dan itu harus diantisipasi oleh media.

Penutup
Hampir 10 tahun sudah penulis berkiprah sebagai kontributor tulisan di Harian SIB. Selama 10 tahun itu—artinya seperempat dari umur Harian SIB—penulis telah membentuk diri menjadi penulis. Setelah menulis di Harian SIB, sebanyak 6 buku telah dihasilkan, ratusan tulisan telah diciptakan. Itu hanya bisa karena orang-orang seperti penulis diberikan kesempatan untuk menyampaikan gagasan, ide dan kreatifitas. Jadi, menurut saya, selain efek yang disampaikan di atas oleh penulis buku The Press Effect, penulis ingin menyampaikan efek lain: media menciptakan kelompok “ilmuwan” media. Dengan adanya media, salah satunya Harian SIB ini, para penulis dan kontributor menjadi semakin terasah, tajam dan lebih bersemangat lagi menuangkan pemikiran, menyebarkan ide, meluaskan gagasan, dan menciptakan opini. Dirgahayu Harian SIB ke-40.
Oleh Fotarisman Zaluchu (Penulis adalah fungsional Peneliti Muda di Badan Litbang Provinsi, kolumnis sosial politik). Harian Sib

MYCULTURED



No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...