Pukul 16.00-19.00 WIB, puncak gunung tertutup kabut. Waktu selanjutnya hingga pukul 24.00 WIB tidak terpantau adanya asap dari kawah aktif. "Gunung tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan kegiatan," demikian laporan kelima petugas tersebut.
Mereka akhirnya menunda pemasangan alat pemantau aktivitas gempa atau seismograf. "Kami sudah membawa, namun alat belum sempat terpasang," kata M Hendrasto, Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Pengamatan visual tersebut ternyata kurang canggih. Maklum Ahad (29/8) pukul 00.08 WIB, terdengar suara gemuruh dari gunung yang terletak di Kabupaten Tanah Karo. Empat menit kemudian terjadi letusan dengan asap mencapai 1500 meter dari bibir kawah. Pusat Vulkanologi yang berkantir di Bandung, langsung mengubah tipe Gunung Sinabung dari tipe B menjadi tipe A dan statusnya dinyatakan "awas".
Letusan ini membuat panik warga dan pejabat. Betapa tidak, karena pejabat Sumatera Utara menyatakan gejala asap tebal dan abu yang muncul sejak Jumat malam adalah hal biasa. Bahkan Sabtu malam dilakukan penyuluhan kepada warga bahwa gunung dengan ketinggian 2.460 meter ini aman.
Lima petugas Pusat Vulkanologi yang datang pada Sabtu cuma melakukan pengamatan dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Optimisme bahwa gunung tidak akan meletus membuat membuat mereka alpa memasang seismograf. Alat itu baru dipasang setelah gunung meletus pada jarak 2,5 kilometer dari puncak Sinabung.
Hasil rekaman gempa vulkanik dan tektonik dari alat itu juga belum bisa dipantau dari posko pengamatan gunung api di Bandung, seperti gunung api lainnya. Hasil rekaman itu dikirim manual ke Pusat Vulkanologi. Padahal gunung api tipe A lainnya, dapat dipantau langsung dari kantor pusat di Bandung lewat satelit.
"Gunung tipe B adalah gunung api yang tidak mempunyai karakter meletus secara magmatik," kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi. Berdasarkan prioritas ancaman, gunung tipe B tidak dipantau secara rutin. Selain Sinabung, gunung tipe B lainnya adalah Gunung Merbabu yang berdampingan dengan Gunung Merapi di Yogyakarta. Lalu Gunung Sibayak di Sumatera Utara, yang berdekatan dengan Sinabung.
Dari 150 gunung api di Indonesia, pemerintah membaginya ke delam tiga tipe. Pembagian ini berdasarkan patokan pendokumentasian Belanda sejak tahun 1600. Tipe A adalah gunung yang pernah meletus setelah tahun 1600-an yang jumlahnya 80 buah. Ada 34 buah gunung masuk tipe B karena letusan terakhir sekitar tahun 1600-an. Sisanya adalah gunung api tipe C yang sama sekali tidak ada letusannya.
Banyaknya gunung berapi di Indonesia karena wilayah ini merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia. Untuk memantau gunung api yang tersebar di Nusantara, pemerintah membuat skala prioritas. Pantauan tinggi dengan peralatan lengkap diberikan kepada gunung api tipe A, sementara gunung api tipe B dianggap tidur.
Gunung yang tidur ini mengagetkan warga, terutama para ahli. "Pola letusannya pendek, kurang dari 24 jam. Ini tidak lazim," kata Irwan Meilano, peneliti sekaligus dosen geodesi Institut Teknologi Bandung. Dia menduga letusan Gunung Sinabung kemungkinan hasil proses pergerakan lempeng sejak lama.
Seperti saat gempa Aceh tahun 2005, kata Irwan, selanjutnya meningkatkan aktivitas gunung-gunung api di sesar Sumatera bagian atas. Sumatera memang memiliki ciri khas, yaitu hubungan antara gunung berapi dan aktivitas lempeng bumi. Hampir semua gunung api umumnya berbaris di patahan atau sesar Sumatera. "Di sana menjadi contoh yang bagus hubungan aktivitas vulkanik dengan tektonik," ujar Irwan yang mendapat gelar doktor dari Jepang.
Menurut Irwan, di Indonesia, banyak gunung api yang mirip seperti Sinabung. Pernah meletus belasan hingga ratusan tahun lalu, namun selama ini seperti tidak aktif. Misalnya Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Guntur di Garut.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Utunta Kaban mengakui pihaknya sempat meyakinkan warga yang mengungsi akan keamanan Gunung Sinabung. Oleh karena, katanya, dalam pengetahuan selama ini letusan Sinabung bisa dikatakan anomali. "Ini kuasa Tuhan."
Irwan menjelaskan selalu ada jangka waktu yang cukup lama sejak gunung mengeluarkan asap hingga meletus dan menimbulkan gempa vulkanik. Pada kasus letusan Gunung Sinabung, kemungkinan magma naik setinggi 3-5 kilometer dari dapur magma di perut bumi.
Sepertinya, kata Irwan, ada tekanan yang cukup kuat. "Mungkin ada perubahan kondisi tektonik seperti gempa yang mengubah pola magmatik," ujarnya. Namun ia belum mengetahui jenis letupan dan kekuatannya karena tidak ada catatan sejarah letusan gunung yang berjarak 90 kilometer dari Kota Medan.
Untuk memastikan ada atau tidaknya serta potensi letusan berikutnya, para ahli perlu merekam catatan kegempaan dan informasi kondisi gunung. Sejauh ini paling tidak, menurut Irwan, lelehan lava yang terus keluar hingga hari ini bisa diartikan sebagai penanda akan menurunnya letusan. Memang letusan sebelumnya telah membuka batuan vulkanis yang menutup lubang kawah.
"Itu kabar bagusnya lelehan lava," katanya. Kabar buruknya, lava yang terus keluar bisa bebas mengarah ke sisi gunung mana saja. Dikhawatirkan lava akan masuk ke sungai dan turun ke permukiman menjadi lahar. Selain itu, ada potensi juga letusan Sinabung memicu letusan pada gunung api di sekitarnya.(tempointeraktif)
No comments:
Post a Comment