Custom Search

Turi-turianni Parpadanan Sihombing Lumbantoruan dengan Naibaho

MYCULTURED

Sebuah Legenda/cerita kuno yang mengisahkan awal mula parpadanan (Sumpah) antara Marga Sihombing Lumbantoruan dengn Marga Naibaho. Saya akan coba menuliskan turi-turian (cerita) ini dalam bahasa Indonesia sehari-hari.

#Dahulu kala di daerah Humbang tengah terjadi peperangan antara Marga Sihombing dengan Marga Marbun. Jika kita ambil data-data tarombo marga, dalam hal cerita ini yang sedang berperang adalah Marga Sihombing yang bernama Op.Raung Nabolon yang memiliki 3 anak yaitu : Op.Hombar Najolo, op.Ginjang Manubung dan Op.Pande Namora. Sundut(Generasi) Nomor 4 dan Nomor 5 terhitung dari Borsak Sirumonggur Lumbantoruan (sesuai dengan aturan penomoran generasi marga Sihombing Lumbantoruan).

#Jauh diseberang Danau Toba,tepatnya di pulau Samosir daerah Pangururan bermukim marga Naibaho ( anak pertama dari Siraja Oloan); ada keturunannya seorang Datubolon (Dukun pendekar sakti) yang bernama op.Datu Galapang. op.Datu Galapang ini dikenal sebagai pangaranto bolon (suka merantau) untuk mencari dan menjajal ilmu hasattian (kesaktian).

Terjadilah sebuah kisah memilukan dimana op.Datu Galapang mardenggan-denggan (berhubungan) dengan ibotonya sendiri yaitu namboru Siboru Naitang,sampai lahir keturunan dari mereka berdua itulah yang sekarang menjadi marga Sitindaon (sitandaon ma on=sebagai tandalah ini) atas persitiwa tersebut. Akibat dari kejadian ini membuat marah Marga Naibaho dan menjatuhkan hukuman kepada kedua pasangan terlarang tersebut. Op.Datu Galapang dibuang kehutan angker yang penuh dengan harimau buas sedangkan namboru Siboru Naitang dipanongnong (ditenggelamkan ke danau). Menurut mitos kuno yang masih dipercaya sampai sekarang, namboru SiBoru Naitang menjadi penunggu Danau Toba.

#Singkat cerita, karena kesaktiannya op.Datu Galapang berhasil meloloskan diri dari Hutan angker tersebut dan pergi ke Humbang melanjutkan perjalanannya dalam mencari ilmu. Keunikan op.Datu Galapang ini,dia hanya membawa sebilah belati utk senjatanya serta selalu membawa segumpalan tanah dan sekantung air.

Kembali ke awal cerita diatas,tengah berlangsung perang antara marga Sihombing dan marga Marbun.

Dikarenakan ada seorang pangulu balang (panglima perang) dari marga Marbun yang demikian kuat dan sakti,membuat marga Sihombing berada diambang kekalahan. Karena Sihombing diambang kekalahan,mendengar bahwa op.Datu Galapang berada di humbang maka marga Sihombing berusaha meminta pertolongan kepadanya. Mungkin karena sudah dituntun oleh Mulajadi Nabolon (sebutan Tuhan dalam kepercayaan Batak kuno), op.Datu Galapang akhirnya membantu marga Sihombing yang sedang diambang kekalahan. Op.Datu Galapang mendatangi wilayah marga Marbun dan bermaksud menemui panglima perang Marbun yang kuat dan sakti tersebut. Sesampainya didaerah kekuasaan Marbun,op.Datu Galapang menabur tanah dan menginjaknya serta meminum air yang dibawanya (inilah salah satu tanda kesaktiannya).

Seketika datanglah Marga Marbun menghampiri dan berusaha mengusir op.Datu Galapang. Mendengar hal itu op.Datu Galapang hanya menjawab dengan perkataan : ” boasa palaohonmuna au? ia Tanokku do na hudege jala aekku do na huinum. (kenapa kalian mengusir saya? bukannkah tanahku sendiri yang kupijak dan airku sendiri yang kuminum).” Mendengar ucapan yang “tidak biasa” itu,Karena mereka sadar yang mereka temui tersebut bukan “orang sembarangan”,maka marga Marbun akhirnya memanggil panglimanya .Karena mereka sadar yang mereka temui tersebut bukan “orang sembarangan.” Kesaktian panglima Marbun yaitu tidak dapat dibunuh selama badan dan kakinya menyentuh tanah (ilmu ini didaerah Jawa dikenal dengan ajian Rawa Ronteg ). Dengan sedikit akalnya,op.Datu Galapang mengakalinya dengan menyuruh panglima Marbun tersebut memanjat sebuah pohon mangga,karena diatas pohon tersebut terdapat sebuah mangga yang jika dimakan dapat menambah kesaktian seseorang. Ketika sang panglima memanjat pohon itu,serta merta pada saat itu kaki dan badannya tidaklah lagi menyentuh tanah.Kesempatan ini tidak disia-siakan Op.Datu Galapang, dan segera menikam tubuh panglima Marbun tersebut hingga tewas. Melihat panglimanya sudah tak berdaya lagi,semangat tempur marga Marbun menjadi mundur. Sampai akhirnya marga Marbun terkalahkan dan marga Sihombing memenangi perang tersebut.
Atas jasanya, maka op.Datu Galapang diampu (diangkat) anak oleh Marga Sihombing dan sejak saat itu sah telah menjadi Marga Sihombing bukan Naibaho lagi.Menjadi anak ke 4 dari Op.Raung Nabolon seperti telah disebutkan pada awal cerita diatas.

Demikianlah,sehingga terjadi parpadanan antara Marga Sihombing dan Naibaho.Karena jika dilihat secara genetik, keturunan marga Sihombing dari op.Datu Galapang hanya gelar marganya saja yang Sihombing Lumbantoruan,namun darah yang mengalir ditubuhnya tetap darah Raja Naibaho. Namun dikarenakan sumpah(padan) yang kuat,tidak hanya khusus kepada keturunan op.Datu Galapang saja yang tidak boleh marsibuatan (mengawini) dengan ibotonya sendiri (boru Naibaho) ;Anak dari op.Datu Galapang ada 3 yaitu : op.Tuan Guru Sinomba,op.Juara Babiat dan op.Datu Lobi. Tetapi berlaku kepada seluruh keturunan Marga Sihombing Lumbantoruan Lainnya.

Sebagai tambahan mengenai cerita diatas,sampai saat ini masih terdapat pro dan kontra apakah Marga Sihombing Lumbantoruan (khusunya keturunan dari Op.Datu Galapang) hanya berpadan dengan marga Naibaho saja, ataukah kepada ke 5 Marga Lainnya keturunan Si Raja Oloan yaitu : Sihotang,Sinambela,Bakkara,Manullang dan Sihite.Karena jika ditelaah lebih dalam dari uraian cerita diatas, op.Datu Galapang adalah keturunan langsung dari Marga Naibaho dimana didalam tubuhnya secara genetik mengalir darah Siraja Oloan???

Satu sumber menyebutkan,hanya marga Sihotang yang mau “mengikuti” padan diatas. Karena pernah diucapkan marga Sihotang kepada Marga Naibaho (sebagai haha dolinnya) : padanni Hahadoli nami siihuttonon hami do (sumpah kepada abang kami akan kami ikuti sebagai adiknya). Tapi dilain pihak ada beberapa pihak mengatakan bahwa yang marpadan hanyalah Marga Naibaho saja,bukan berarti ke 5 marga SiRaja Oloan yang lain mengikutinya. (karena ada beberapa marga Sihombing Lumbantoruan yang sudah memperisitri br.Sihotang,br.Sihite)
Padan Marga Sihombing Lumbantoruan dengan Marga Naibaho dan Marga Sitindaon tetap dipegang kuat sampai sekarang karena masih adanya hubungan pertalian darah (sisada mudar).

Perbedaan pendapat bukan untuk menjadi bibit perselisihan.Dalam hal ini penulis bukan berusaha memperdebatkan padan najolo (sumpah dahulu kala).Tetapi tidaklah lain hanya berusaha melestarikan turi-turian najolo (cerita-cerita legenda) supaya tidak hilang “digilas” kerasnya perputaran jaman.

*Akka padan naung pinukka akka ompunta sijolo-jolo tubu,si ihuttononta akka na parpudi *

ParHorasan ma dihita,

Penulis:
S.T.Sihombing No.17 (Hutagurgur-Raung Nabolon-Datu Galapang-Tuan Guru Sinomba)
http://lumbantoruan.blog.friendster.com/.




PUSAKA PENINGGALAN RAJA SUMBA

MYCULTURED

Tipang adalah nama dari seseorang yang disebut “Duhut-Duhut Simardimpos dohot Tano Simarhilop” yang topografinya dibagi dua, yaitu Tano Birong yang ditempati oleh Simamora dan keturunannya dan Tano Liat yang ditempati oleh Sihombing dan keturunannya.

Disuatu tempat, yakni di bagian belakang atau sebelah selatan dari huta ndari marga Hutasoit dan sebelah timur dari pusat keramaian Tipang, terdapat tiga “Batu Pauseang” yang diterima oleh Raja Sumba dari Raja Lontung.

Ketiga batu tersebut ukurannya kira-kira sebesar bola kaki yang diletakkan begitu saja dan hingga saat ini tidak terawatt sama sekali dan hamper hilang ditutupi semak belukar yang rimbun.

Ketiga batu tersebut, yaitu:
* Batu Siboru Gabe : Asa gabe diholmaon, gabe naniula (melambangkan kemakmuran atas sawah lading yang dikerjakan oleh seluruh keturunannya)
*Batu Siboru Torop: Asa torop maribur huhut sangap angka pinompana (yang melambangkan supaya berkembang biak / beranak pinak dan sukses seluruh keturunannya)
*Batu Suboru Sinur: Asa sinur ma pinahan (melambangkan kemakmuran atas ternak yang dikembangbiakkan oleh seluruh keturunannya)

Ketiga Batu Pauseang tersebut pada masa dahulu, digunakan sebagai tempat sacral terlebih bila musim tanam tiba. Ketika masa mencangkul (ombahon) selesai dan tiba saatnya menanam padi, maka beberapa jenis padi dibawa ke Batu Pauseang, untuk didoakan dan diletakkan disana selama beberapa hari. Bila harinya tiba tersebut, para ibu akan dating kesana dan akan mendapati tanda bahwa jenis padi tertentulah yang akan ditanami di seluruh Tipang pada musim tanam itu.

Tipang adalah tempat yang banyak menyimpan sejarah atau Pusaka Peninggalan Raja Sumba dan tempat sakti, yaitu:
1. Namartua Guminjang: Tempat mengisyaratkan suara ogung doal. Bila berbunyi maka akan ada orang yang Saur Matua
2. Namartua Sidimpuan: Mengisyaratkan suara ogun oloan, pangoaran dan gordang bolon
3. Naposo lahi-lahi ulian mataniari: Suara dan tanda yang terbentang di Tipang
4. Batu partonggoan: Tempat berdoa untuk menolak mara bahaya
5. Baru Jangar-Jangar: Batu berupa patung dimana tidak boleh berdusta
6. Batu Maraktuk: Sigala-gala binaga (sebagai syarat akan terjadi peristiwa besar
7. Gua Jarina: Gua yang dalam, tempat berdoa dan mensucikan diri
8. Batu Sada: Tempat penyimpanan sari-saring (tulang-tulang) turun-temurun
9. Pusaka Tano Hajiran: Pusaka yang sangat ampuh untuk menolak bala
(alogo nasohapundian, udan nasohasaongan dohot napajolo gogo)
10. Air Terjun: Tempat bersemedi untuk pensucian diri
http://lumbantoruan.blog.friendster.com/.



Terima kasih sudah menyempatkan diri mengunjungi halaman ini.

Situs web ini bersifat non komersial, karena itu tidak dirancang untuk memperoleh keuntungan materi. Akan tetapi besarnya biaya bulanan untuk membuat situs ini tetap eksis merupakan kesulitan utama dalam mempertahankan dan meningkatkan situs ini.

Jika Anda menyukai situs web ini, Anda bisa membantu untuk membuatnya lebih baik. Untuk pengembangan website ini kami membutuhkan sumbangan anda, klik logo DONATE dibawah ini:






Kiriman sekecil apa pun akan sangat berharga bagi masa depan situs ini selanjutnya. Terima kasih sebelumnya atas dukungan Anda.

Bonapasogit Raja Sumba

MYCULTURED

Berbatas sebelah timur dengan danau Toba, sebelah selatan dengan Bakkara, sebelah barat dengan sisi terjal bukit arah Siria-ria dan sebelah utara dengan Janjiraja, disanalah terletak Negeri Tipang yang indah permai. Sama halnya dengan semua tempat yang terletak dibibir
danau Toba yang amat permai pemandangan alamnya, tapi bagi sebagian orang khususnya marga Simamora dan Sihombing, Negeri Tipang adalah tempat yang merupakan bona pasogitnya.

Menurut Geografis Pemerintahan, Tipang terletak dalam wilayah Kecamatan Bakti Raja (Singkatan dari Bakkara, Tipang, dan Janiraja) Kabupaten Humbang Hasundutan dan saat ini dihuni oleh kira-kira 450 kepala keluarga dan 1.725 jiwa. Tadinya Tipang terdiri dari tiga desa, yaitu: Desa Tipang Dolok, Tipang Habinsaran, dan Tipang Hasundutan, tapi saat ini hanya tinggal satu desa saja.

Tipang diyakini sebagai Bonapasogit dari Raja Sumba (yang digelar sebagai Sumba Napaduahon) yang merupakan salah satu anak dari Ompu Tuan Sorba Dibanua yang delapan orang itu. Setelah menikahi Boru Pandan Nauli, yaitu putrid dari Raja Lontung dari negeri Sabulan, Raja Sumba berangkat menyisir kea rah selatan dan membuka perkampungan disalah
satu tempat yang kemudian dinamai Tipang.

Dari perkawinan dengan Boru Pandan Nauli, Raja Sumba dianugerahi dua orang putra, yaitu Simamora yang tertua dan Sihombing yang termuda. Adapun Simamora mempunyai keturunan, yaitu Purba, Manalu, dan Debataraja sedangkan Sihombing memperanakkan Silaban, Nababan, Hutasoit, dan Lumban Toruan. Ketujuh keterunan tersebut secara terus-menerus menempati Tipang hingga saat ini dan pengaturan pembagian warisan sawah dan lading diatur dengan musyawarah dan damai secara turun-temurun.



Terima kasih sudah menyempatkan diri mengunjungi halaman ini.

Situs web ini bersifat non komersial, karena itu tidak dirancang untuk memperoleh keuntungan materi. Akan tetapi besarnya biaya bulanan untuk membuat situs ini tetap eksis merupakan kesulitan utama dalam mempertahankan dan meningkatkan situs ini.

Jika Anda menyukai situs web ini, Anda bisa membantu untuk membuatnya lebih baik. Untuk pengembangan website ini kami membutuhkan sumbangan anda, klik logo DONATE dibawah ini:




Kiriman sekecil apa pun akan sangat berharga bagi masa depan situs ini selanjutnya. Terima kasih sebelumnya atas dukungan Anda.

TUK-TUK Samosir - Lake Toba

MYCULTURED

The visitor also could visit Tuk Tuk to look for accommodation (inns and hotels), 42 km from Pangururan to Tuk Tuk or one-hour trip on car. Approximately 50 inns and hotels in various classes are available in Tuk Tuk. There are also several high-class hotels here. From the positive aspect, clearly tourism supported the local business. On the other hand, the physical development practical ignored principles of the business and town planning when businessmen rushes to built hotels, guesthouses, etc.

Entered Tuk Tuk is like visiting Legian or Sanur Bali in the early stage. With several shops displayed clothes and art objects, followed by cafes, discos and hotels. At night, a lot of rejoicing tourists (mostly domestic) surrounded campfire while playing the musical instrument and the typical Batak song.

Of course, skittish travelers already had plenty of excuses to sidestep Indonesia—civil strife in the northern province of Aceh, terrorist bombings on Java and Bali. Those of us with a penchant for out-of-the-way gems, however, are rarely deterred—and may even be egged on—by such developments. Indeed, New Yorkers are in a particularly good position to know the moral, and economic, boost that the presence of hardy tourists can offer those living in the wake of terrible fortune. You will not hear it on the TV news, but Sumatra—a California-size marvel of beaches, jungles, and mountains at the top of the Indonesian archipelago—remains spectacularly beautiful, culturally fascinating, and overwhelmingly friendly. And, ironically enough, the same tectonic forces that produced the recent calamities were responsible, in a much earlier outburst, for creating the single most magical spot I’ve ever visited. How cool can a destination be? Well, this one is located inside a volcano, its cuisine is centered on tempeh, and its major village is called—no joking, and, please, no punning—Tuk Tuk.

The approach to Tuk Tuk begins 110 miles away in coastal Medan, a mildewed Dutch colonial outpost with the air quality of a bus depot. A narrow winding road, crowded with broken-down oxcarts and sputtering Eisenhower-era vehicles, climbs out of the lowlands. The hillsides grow thick with jungle foliage, and the road is shaded by a neon profusion of fruit trees that yield softball-size mangoes and the weird, hairy clusters of a delicacy called rambutan. Halfway to Tuk Tuk, you might opt, as I did, to spend a day or two in the formerly grand mountain resort town of Berastagi, where there are fabulous hiking possibilities on a pair of locally sacred volcanoes, their peaks mystically swathed in smoky sulfur. (Virgins, be warned.)

Onward to Tuk Tuk, the road continues to rise. At its high point, you are granted a sudden and shocking view into an enormous, steep-sided bowl, at the bottom of which are the pristine waters of Lake Toba, about 60 miles long and 20 miles wide, Southeast Asia’s largest freshwater pool. At this vantage point, you are perched on the lip of the crater left behind by the eruption, 75,000 years ago, of what is thought to have been the world’s last “super-volcano.” Sound sexy? The Toba explosion was 3,000 times as powerful as that of Mount St. Helens, and a clutch of reputable scientists speculate that it caused the last ice age and destroyed most life on the planet. Most important, the cataclysm left behind a prime vacation spot.

You descend to the bottom of the crater, then take an hour-long ferry trip to Samosir Island, in the middle of the lake. Samosir, roughly ten times the size of Manhattan, is occupied by a few thousand scattered residents—rice farmers, water-buffalo herders—and a few dozen blissed-out travelers, who cluster in the peninsular tourist hub of Tuk Tuk. Three thousand feet above sea level, Tuk Tuk is a sun-drenched 80 degrees year-round, its shore lined with thatch-roofed cottages and a couple of low-slung hotels. (The most upscale choice, Carolina’s Hotel, might set you back $30 per night.) The prevailing vibe is tropical bohemian—laid-back and tolerant without being sleazy. The services are appropriately basic—no golf courses or Jet Skis, though you will find Internet access and DVDs. Fresh curries and stir-fry rule; nasi goreng—the Indonesian staple of fried rice topped with an egg—is a daily requirement.

The other daily requirements are these: swimming, biking, wandering. The lake, tinted aquamarine, averages 1,500 feet in depth and is so clear you’ll think you can see to the bottom. Floating in those waters, surrounded by the green forested walls of the crater, is an experience of relaxation so complete as to make you check your tea bag for narcotics. (None there.) To explore the island, rent a bike or a scooter to tackle the single, cruelly potholed paved road, or set out on foot. There’s no wrong direction to go. I tried to climb the unnamed mountain at the center of the island but turned back when the path was obscured by dense undergrowth.

No great loss. The richest sights are those afforded by glimpses of the lives of Samosir’s residents. These islanders, descendants of the Toba Batak natives, live in villages made up of a ring of traditional houses: loftlike spaces, resting on stilts and covered by sharply sloping thatch roofs. Each house, shared by several families, is decorated with talismanic carvings and offers shelter for livestock beneath its raised floors. No doubt a wood-carver will invite you into his workshop and try to sell you his handiwork. Buy some. The carvings are beautiful and cheap. You might also see women, in bright silk garments, rehearsing a trancelike traditional dance. Villagers have a custom of greeting curiosity seekers with a lustily shouted greeting, “Horas!” The polite response is to return the sentiment. You are, after all, dropping in on their paradise—one that persists, and thrives, miraculously, in the shadow of disaster.




Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...