Custom Search

Cerita Lahirnya Marga Pardosi

MYCULTURED

Satu keluarga Gr Somasangkut Siagian yang tinggal di Bonandolok Balige mempunyai4 anak, yaitu Raja Situtu, Raja Togar Sianjur, Raja Pantun, dan Raja Ega. Setelah cukup dewasa, anak-anaknya itu merantau, termasuk Raja Ega yang kemudian disapa masyarakat dengan nama Raja Dongan (Ompu Dongan), ia merantau sampai ke Uluan Toba Parhabinsaran. Modal Raja Ega di perantauan adalah kepintarannya mengobati (marubat). Karena kepandaiannya mengobati, maka banyak temannya, menjadi sahabat semua orang, seperti Mantri Kesehatan atau Dokter lah di zaman sekarang. Pergaulannya itulah yang membuat dia dipanggil Dongan (artinya kawan).

Hidup berpindah-pindah, merupakan cara bertahan hidup pada masa itu. Meskipun mereka merantau masing-masing, berpencar, suatu ketika Raja Ega kumpul lagi menjadi sekampung bertetangga dengan abangnya Raja Situtu di Uluan. Mulanya mereka rukun, bahkan saling meminjam jikalau tidak punya.

Untuk membangun rumahnya, Raja Ega meminjam alat pertukangan (ula-ula sian bosi) yaitu tuhil (pahat). Pendek ceritera, suatu ketika, tuhil hilang karena kecerobohan tukang. Sudah dicari entah kemana, tidak ditemukan. Raja Ega menawarkan kepada abangnya pengganti barang atau uang, tapi Raja Situtu tidak setuju. “Na ingkon tuhil i do mulak,” (–harus pahat itu yang kembali–) begitulah gambaran keras hatinya menolak penggantian sekalipun dengan pahat juga tapi baru.

Jadilah perkara, Raja Dongan meminta bantuan para tetua kampung dan para raja adat membujuk sang abang Raja Situtu agar mau berdamai. Akan tetapi pendirian Raja Situtu teguh tidak mau diganti barang lain. Dalam sidang-sidang yang berlangsung berulang kali, Raja Ega selalu memohon keadilan, “dia sibahen na dos.” Karena seringnya Raja Ega mengatakan “na dos” (yang adil), maka muncullah julukan: si par DOS i.

Dalam tata bahasa Batak awalan par berarti “orang yang”, atau “orang dari”. Kata dos secara harfiah artinya “sama” atau dalam konteks ini “adil” atau “seimbang”. Kata i pada akhir sesuatu berarti “itu”. Secara keseluruhan kata PARDOSI artinya orang yang menginginkan berlakunya keadilan.

Satu-satunya cara mengatasi masalah dalam situasi perselisihan itu, Raja Ega memutuskan untuk pergi saja, menjauh dari sang abang. Maka suatu pagi buta diam-diam Raja Ega dan istrinya kabur dari kampung. Di perjalanan, belum terlalu jauh tentunya, Raja Ega merasa ada sesuatu yang ketinggalan. Benar, ternyata anjing kecil kesayangannya, si belang, ketinggalan. Padahal biasanya selalu menguntil atau menjadi pandu jalan di hutan. Diputuskanlah untuk kembali menjemput si belang.

Sampai di halaman rumah, ditemukan si belang sedang mengorek-ngorek tanah. Ternyata, si belang menemukan tuhil yang hilang. Maka sebagai kawul syukur, Raja Ega bersumpah bahwa dia dan keturunannya tidak akan memakan daging anjing belang. Sampai sekarang marga Pardosi mematuhi sumpah pantang itu.

Tuhil dikembalikan, maka hutangnya lunas. Tekad untuk pergi tetap dilakukan. Berangkatlah Raja Ega ke wilayah Parsoburan di Habinsaran. Suatu lokasi yang berada di antara Porsea dan Rantau Prapat, namun akses ke Toba lebih terbuka.

Dalam bermasyarakat, Raja Dongan sendiri masih bermarga Siagian. Mulai keturunannya dipanggil PARDOSI. Seiring jalannya waktu, ada turunan Raja Dongan yang kembali memakai marga Siagian, terutama di perantauan, sebab mungkin merasa repot menjelaskan bahawa “Siagian do Pardosi, anak ni Tuan Dibangarna”. Tahun 1960-an muncullah punguan marga Pardosi dimana Gr Raja Oloan Pardosi termasuk penggagasnya. Tahun 1971 pada pesta Tugu Toga Raja Panjaitan, marga Pardosi dicatat sebagai bagian Tuan Dibangarna menjadi adik dari marga Siagian.

(Diceriterakan oleh Gr Raja Oloan Pardosi, dan diceriterakan ulang oleh Thoman Pardosi, Jakarta, 21 Agustus 2010)

No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...