Custom Search

SANG NAUALUH, RAJA SIANTAR, Kepahlawanan Menentang Penjajahan di Simalungun (1)

MYCULTURED

Dewasa itu, Simalungun sangat anti kolonialime. Pernyataan ini bukan tidak beralasan, Tuan Rondahaim Raja Kerajaan Raya, misalnya, menolak kedatangan Tengku Mohamad Nurdin seorang Raja dari Kerajaan Padang di Bulian Tebing Tinggi karena membawa buah tangan produk negeri kolonial, gramafon; padahal keduanya merupakan saudara dekat karena Tuan Rondahaim bermarga Saragih Galingging dan Tengku Mohamad Nurdin bermarga Saragih Dasalak, serta Rondahaim pernah membela mati-matian akan kedudukan Tengku Mohammad Nurdin sebagai Raja Kerajaan Padang di Tebing Tinggi yang saat itu direbut Deli.

Bahkan Tuan Rondahaim membakar tempat kediaman disuatu wilayah, yang menurutnya, punya ekses terhadap kolonial.

Perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan dibuang ke Pulau Jawa dan tidak diketahui tempat atau makamnya hingga kini. Tuan Jontama Purba Dasuha, Raja Panei, sampai saat ini juga belum diketahui tempat atau makamnya karena protes akibat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial kepada Asisten Residen Sumatera Timur di Medan. Serta perlawanan rakyat Girsang dan Simpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dan dapat dilumpuhkan pada 1906.

Lain lagi dengan Pangulu Amat (1899-1978) seorang Hoofd Penghulu di Bandar Tinggi, merelakan harta serta perhiasan istrinya untuk perjuangan rakyat Bandar Tinggi, Sibatu-batu dan Partimbalan untuk menentang kolonialisme berkuasa. Ahmad Rasjid Damanik, begitu nama asli Pangulu Amat, mampu menyatukan Orang Simalungun dengan Puak Banjar, Rao, Melayu, Mandailing dan Jawa yang sebelumnya terpecah belah karena ulah devide et impera-nya Belanda. Ketika Belanda mengejar-ngejar Pangulu Amat untuk dibuang ke Digul, Pangulu Amat lari mengatur siasat ke Bandar Sakti Tebing Tinggi, sehingga seorang pejuang tangan kanan Pangulu Amat bernama Buyung mengorbankan diri untuk dibuang ke Digul.

Begitu pula dengan SANG NAUALUH, raja ke XIV dari Kerajaan Siantar di Simalungun dari klen Damanik. Sosok bangsawan patriotik nan sufi ini adalah putra Tuan Mapir yang bermarga Damanik dan ibunya bernama Panak Boru Gajing dari klen Saragih. Ketika Kontelir Kroesen melakukan pertemuan dengan Sang Naualuh, pada 16 September 1888, Sang Naualuh dipangku secara adat oleh bapa angginya Tuan Anggi serta didampingi Raja Hitam dan Bah Bolak. Kontelir Kroesen meminta agar Kerajaan Siantar bersedia tunduk ke bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Namun yang terjadi, Sang Naualuh menolak tegas permintaan wakil Pemerintah Belanda, sehingga Belanda menganggap Sang Naualuh tidak menghormati undangan mereka. Padahal usia Sang Naualuh baru 17 tahun saat itu, cukup belia untuk mampu menjadi pengambil keputusan bagi orang kebanyakan.

Melihat sikap Sang Naulauh yang tegas dan anti kompromis dengan penjajah, akhirnya Belanda mengambil hati dengan menerbitklan Besluit No. 25 (tgl. 23 Oktober 1889) yang berisi pengakuan Sang Naualuh sebagai Raja Siantar. Padahal tanpa besluit tersebut, Siantar mempunyai otonomi dan cara sendiri untuk menabalkan seorang Raja.

Besluit ini menyiratkan kehati-hatian Belanda terhadap sikap Sang Naualuh / Simalungun, mencari perhatian Sang Naualuh serta ingin mempermudah ruang gerak Belanda dalam kekuasaan birokrasi serta penanaman modal asing pada lahan perkebunan. Namun semua ini tidak digubris Sang Naualuh yang sangat diteladani rakyatnya ini.

Sikap patriotik Sang Naualuh tampak jelas ketika melihat prilaku Tuan Marihat. Meskipun Tuan Marihat adalah bapa angginya, namun Sang Naualuh sempat mengusir keluar dari Kerajaan Siantar karena dianggap tidak menunjukkan sikap proaktif terhadap Kerajaan Tanah Jawa yang akan diserang Belanda. Walau kemudian untuk menghindarkan masuknya politik campur tangan Belanda, pada Maret 1891 Sang Naualuh memanggil dengan arif sang bapa anggi, Tuan Marihat, untuk kembali berdamai.

Pada tahun 1901, Sang Naualuh memeluk agama Islam dari agama leluhur sebelumnya. Sang Naualuh mengajarkan kebersihan hati dan fisik kepada rakyatnya. Dengan kebersihan hati, firasat akan tajam. Dengan kebersihan fisik, firasat akan terejawantah.

Mungkin sepele, namun Sang Naulauh mengajarkan rakyatnya untuk mandi setiap hari dan menyikat gigi dengan teratur serta mencukur rambut. Untuk produktifitas lahan dan hasil pertanian, Sang Naualuh mengajarkan sistem lahan tetap karena sebelumnya memakai sistem lahan berpindah serta mengajarkan penanaman serempak dengan menata ulang kembali adat yang sudah ada di masyarakat Simalungun, yaitu marharoan (gotong royong) dan marsialop ari (kelompok tani).



No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...