Custom Search

Asal muasal Habonaron Do Bona

MYCULTURED

Perihal kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu Habonaron do Bona, Hajungkaton do Sapata” yang artinya segala sesuatu harus berpangkal dari yang benar. Orang yang tidak konsisten menjungjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Suatu keputusan barulah diambil setelah dipikiran masak-masak, dan sekali ia memutuskannya maka jarang ia menarik keputusannya itu. Sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Simalungun bukanlah tipikal manusia yang sembrono atau terburu-buru dalam mengambil dan menentukan sebuah kebijakan dan keputusan, seluruhnya harus dipikirkan masak-masak dan keputusan itu adalah tetap, artinya tidak akan pernah berubah lagi. Hal ini berdampak pada sikap orang Simalungun yang begitu lambat dalam menerima Injil.

Disisi lain, falsafah itu berpengaruh kepada sikap dan tabiat orang Simalungun sehari-hari yang selalu dipenuhi ketakutan untuk berbuat kesalahan, lebih suka berserah kepada Ompung Naibata daripada mengadakan perlawanan yang spontan. Seperti ketika para pendatang membanjiri Tanah Simalungun setelah penandatanganan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) antara raja-raja Simalungun dengan pemerintahan Belanda, khususnya imigran Batak Toba, orang Simalungun memilih membuka lahan baru di Simalungun Atas yang tanahnya relatif kurang subur ketimbang terlibat konflik dengan para pendatang, sekalipun mereka sangat dirugikan oleh kedatangan para imigran itu.

Pertanyaan yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah darimanakah asal-muasal falsafah itu? Penulis sendiri menemukan dua sumber yang berbicara tentang asal muasal falsafah di atas.

Sumber pertama menyebut falsafah di atas ditegakkan oleh Tuan Sormaliat, yang berawal dari ditemukannya Bambu Bertulis sebanyak tujuh buah per batang; dimana bambu itu berisi tulisan dari ruas paling bawah hingga ke ruas atas yang berisi: penanggalan waktu (bulan, hari dan jam), ilmu pengobatan, ilmu nujum, ilmu pemanggil roh, dan lain-lain. Ia menemukannya di kerajaan Batang Toruh, tepat di dasar jurang tempat ia jatuh. Kemudian selama tujuh hari lamanya ia bertapa disana seraya menuliskannya kembali ke dalam “laklak ni hayu alim” (kulit kayu ulin).6 Pengetahuan yang ia peroleh dari Bambu Bertulis itulah yang kemudian ia pakai mengalahkan kekuatan musuh-musuh yang berusaha menganggu ketentraman manusia. Akhirnya ia menegakkan dan bersandar pada falsafah Habonaron do Bona serta mengajarkannya kepada masyarakat kerajaan Rahat Di Panei.7 Sumber kedua menyatakan bahwa seloka Habonaron Do Bona terdapat dalam Pustaka Simalungun kuno yang disebut Pustaha Parmungmung Bandar Syah Kuda yang bertarikh kira-kira abad XV ketika Simalungun masih bernama Harajaon Purba Deisa Na Ualuh. Dalam laklak itu dikisahkan bagaimana burung Nangordaha akhirnya memberikan keadilan (habonaron) kepada Sang Ma Jadi putra raja Purba Deisa Na Ualuh dengan cara membantunya dalam pertempuran antara Sang Ma Jadi dengan Raja Samidora (Samudera Pasai di Aceh). Ketika Nangordaha menukik hendak membunuh raja Samidora terdengarlah di langit ucapan “Habonaron do Bona” sebanyak tiga kali. Seloka itu kemudian ditetapkan sebagai lambang kabupaten Simalungun pada masa pemerintahan Bupati Radjamin Purba (1960-1970)

Footnote

1 D. Kenan Purba, SH & Drs. J.D. Purba, “Sejarah Simalungun”, (Jakarta: Bina Budaya Simalungun, 1995), hlm.6.
2 Walter Lempp, “Benih yang Tumbuh (12): Gereja Gereja di Sumatera Utara” (Jakarta, 1976) dalam buku Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm. 22.
3 Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm. 23.
4 Mansen Purba, “Simalungun Abad ke-19” dalam Ambilan pakon Barita GKPS No.137/September 1985, hlm.50.
5 Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm. 42.
6 Drs. Henry Guntur Tarigan, “Folklore Simalungun”, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hlm 22
7 Ibid. hlm 58.
8 Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm 42 (diambil dari catatan kaki)
9 Ibid
10 Kosuke Koyama, “Tiada Gagang pada Salib”, (Jakarta: BPK GM, 1986),hlm. 4.
11 Kwok Pui-lan, “Discovering the Bible in the Non-Biblical World”, (New York: Orbis Book, 1995)
12 Hesselgrave David J, Theology and Mission, Baker Book House, 1976, Korean tras dari Jeon Ho-Jin, Seoul: Tyranus Press, 1986,p. 73. Diambil dari buku Suh Sung Min, “Injil dan Penyembahan Nenek Moyang”, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm. 341.
13 Stephen.B. Bevans, “Model-Model Teologi Kontekstual”, (Flores: Ledalero, 2002), hlm. 41.
14 Martin Lukito Sinaga, “Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang J.Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun”, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 54,
15 Jan. S. Aritonang, “Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak”, pp. 452-454 dalam buku Suh Sung Min, “Injil dan Penyembahan Nenek Moyang”, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm. 318-319.
16 Berdasarkan pengalaman penulis, bahwa banyak parhorja kuria (sintua maupun syamas) di GKPS X yang aktif martambar (berobat) maupun bertanya kepada ompung/kakek penulis selaku seorang namarpambotoh (datu).
17 Dalam buku Folklore Simalungun disebutkan bahwa ilmu yang diperoleh oleh Tuan Sormaliat diperoleh dari bambu bertulis. Sedangkan ilmu yang diperoleh oleh Herdin Purba adalah hasil turunan dari orang tua sebelumnya. Ilmu ini harus terus dilestraikan dengan cara menurunkannya kepada generasi berikutnya. Demikian seterusnya.
18 Drs. Henry Guntur Tarigan, “Folklore Simalungun”, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hlm. 32. Penulis tidak tahu pasti apakah mantera diatas juga dipakai oleh Herdin Purba. Namun yang pasti, dalam hal-hal tertentu ia juga mengucapkan menteranya.
19 Dari pengalaman penulis; penjaga badan yang diberikan itu terbuat dari beras yang digongseng sampai berwarna hitam dengan rasa yang pahit. Kemudian beras ini ditumbuk sampai halus dan di beri mantera.
20 Drs. Henry Guntur Tarigan, “Folklore Simalungun”, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hlm. 36.
21 Ibid. hlm. 36-46.
22 Jan. S. Aritonang, “Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak”, pp. 452-454 dalam buku Suh Sung Min, “Injil dan Penyembahan Nenek Moyang”, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm. 319.
23 Ibid. hlm. 321-322.
24 Kosuke Koyama, “Tiada Gagang pada Salib”, (Jakarta: BPK GM, 1986), hlm. 79.



No comments:

Post a Comment

Masukkan Email Anda Disini untuk dapat artikel terbaru dari BUDAYA BATAK:

Delivered by FeedBurner

KOMENTAR NI AKKA DONGAN....!!!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...